Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Senin, 04 Juli 2011

MANISNYA HAWA NAFSU ITU PAHIT RASANYA

"Orang yang hebat dan kuat adalah orang yang bisa mengalahkan dan menguasai hawa nafsunya"

Hati itu tempat bertahtanya iman, dan makrifatnya keyakinan, dan semua ini adalah obat bagi penyakit yang diakibatkan oleh hawa nafsu dan syahwat. Akan tetapi apabila penyakit seperti ini telah menjalar ke hati, maka tidak ada lagi tempat pengobatannya. Itulah kesukarannya pengobatan, sehingga sulit untuk sembuh.
Hawa nafsu dan syahwat badani termasuk penyakit hati yang sering menghinggapi manusia. Apabila hawa nafsu itu telah masuk dan menusuk hati, maka rusaklah hati, dan apabila dibiarkan saja, ia akan membusuk, dan sukar disembuhkan. Dosa karena hawa nafsu itu ibarat setetes kotoran yang jatuh di atas lembaran hati manusia. Sekali manusia itu berbuat dosa, satu titik kotoran melekat di atas hati. Apabila tidak dicegah, tetesan dosa itu lama kelamaan akan menutup seluruh permukaan hati, maka gelaplah hati. Ia tertutup dari sinar iman karena sudah dipenuhi oleh kegelapan dosa dan hawa nafsu.
Hawa nafsu dan syahwat memang selalu mengajak kepada kejelekan. Ia akan menghinggapi manusia, ketika jiwa yang kosong dari iman dan dzikir. Dalam hawa nafsu itu pula setan mengatur siasat dan mengarahkannya agar lebih pandai berhadapan dengan manusia yang selalu zikir kepada Allah. Sebab hawa nafsu tidak akan mampu berhadapan dengan hamba Allah yang selalu zikrullah.
Setan selalu memanfaatkan nafsu amarah yang merusak, sedangkan manusia beriman selalu dilindungi oleh zikrullah sehingga jiwanya tenang dan waspada oleh nafsu muthmainnah.
Nafsu mutmainnah adalah nafsu yang tenang dan damai dalam hati manusia. Nafsu ini membimbing manusia menghadap Tuhan dan mencari keridaan-Nya. Dalam hidup di dunia nafsu mutmainnah mengarahkan manusia untuk mencapai ketentraman dalam hidup, mempermudah mendapatkan petunjuk, dan memberi kekuatan untuk tekun beribadah. Di hari akhirat nafsu mutmainnah akan mengantarkan ruh manusia yang yang saleh dan para hamba yang arif  berangkat menemui Allah Swt, dengan ruh yang damai dan tenteram, hingga memasuki surga jannatun na’im.
Menjaga dan memelihara kebersihan hati adalah sifat orang beriman dan para hamba yang saleh. Hati itu adalah cahaya dalam diri manusia, ia adalah pelita kehidupan manusia beriman. Jagalah jangan sampai pelita yang sedang bercahaya itu redup. Jikalau cahaya pelita hati itu redup, adalah alamat ia sedang sakit. Cepatlah diobati, kendalikan hawa nafsu amarah itu, dan belokkan ke arah nafsu mutmainnah. Ketika pelita hati sedang redup, dekatilah Allah, tingkatkan ibadah dan dzikir, jauhilah perkara syubhat dan dosa-dosa walaupun sebesar biji sawi. Penuhi kembali hati dengan siraman iman dan dzikrullah, itu adalah satu-satunya obat hati.
Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya dalam jasad anak Adam itu ada segumpal daging, apabila gumpalan daging itu baik, maka baik pula jasad manusia. Apabila gumpalan daging itu rusak, maka rusak pula jasad manusia. Ketahuilah bahwa gumpalan daging itu adalah hati.”
Oleh karena itu jangan dibiarkan nafsu dan syahwat itu mengendap di dalam hati, ia akan membuat sarangnya di dalam hati lalu bertelur dan menetaskan hawa nafsu baru dan bentuk-bentuknya. Sementara setan mengatur siasatnya kembali untuk menghancurkan benteng iman.
Cepat keluarkan dan usir nafsu syahwat itu dari dalam hati. Bentengilah dengan iman dan dzikir yang tidak putus-putus. Seorang Ahli Hikmah berujar :
“tidaklah nafsu syahwat itu dapat dikeluarkan dari dalam hati, kecuali adanya rasa takut yang menggetarkan dan rasa rindu yang menggelisahkan.”
Hawa nafsu itu memang memiliki kekuatan, apalagi hati sudah ditaklukkan, maka kekuatan akan berlipat-lipat. Yang akan mampu mengusir kekuatan hawa nafsu adalah petunjuk, yang datang dari Allah Swt.
Takut yang menggetarkan hati manusia dan menggoncang jiwa para hamba Allah, ialah ketakutan yang akan menimpa di hari akhirat dan siksa Allah di dunia, karena membiarkan hati digerogoti oleh hawa nafsu, sehingga jiwa menjadi merana dan tak berdaya. Di samping itu ruhul mutmainnah manusia yang tersisa dalam jiwa, merindukan kepada semua janji Allah dan pertemuan dengan Maha Pencipta alam semesta ini. Rasa takut dan rasa rindu dalam hati dan jiwa manusia adalah dua kekuatan yang berpadu menjadi satu yang mampu memberi dorongan menghadapi hawa nafsu, sekaligus menghancurkannya.

“Manisnya hawa nafsu yang ada dalam hati, adalah penyakit yang sulit disembuhkan”
Subhanallah, manusi di buat dalam keadaan lemah. maka selalu memohon dan berdo'a pada dzat yang memberi pentunjuka adalah jalan yang haq untuk kita selalu pijak. Semoga kita semua termasuk golongan orang yang selalu mendapat hidayahNya amiin.

Jumat, 17 Juni 2011

Pusat Fatwa Mesir dan al-azhar : Pembagian tauhid versy Wahhaby adalah Sesat

1. Pusat Fatwa Mesir : Kesesatan Aqidah Rububiyah – Uluhiyah Wahhaby

Berikut adalah sebahagian daripada terjemahan kami bagi Fatwa yang telah dikeluarkan oleh Pusat Fatwa Mesir berkaitan kesesatan Pembahagian Tauhid ala Taymiyyah dan Wahhabiyyah. Oleh kerana fatwanya agak panjang maka kami pilih yang sesuai dan bagi sesiapa yang boleh berbahasa Arab, silalah merujuk ke:


TERJEMAHAN:
“Dan pembahagian Tauhid kepada Uluhiyyah dan Rububiyyah adalah daripada pembahagian yang baru yang tidak datang daripada generasi Salafus Soleh. Dan orang pertama yang menciptanya – mengikut pendapat yang masyhur – ialah Sheikh Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmati beliau),…

Melainkan beliau membawanya kepada had yang melampau sehingga menyangkakan bahawa Tauhid Rububiyyah semata-mata tidak cukup untuk beriman, dan bahawa sesungguhnya golongan Musyrikin itu bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan sesungguhnya ramai daripada golongan umat Islam daripada Mutakallimin (ulama’ tauhid yang menggabungkan naqal dan aqal) dan selain daripada mereka hanyalah bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan mengabaikan Tauhid Uluhiyyah.

Dan pendapat yang menyatakan bahawa sesungguhnya Tauhid Rububiyyah sahaja tidak mencukupi untuk menentukan keimanan adalah pendapat yang bid’ah dan bertentangan dengan ijma’ umat Islam sebelum Ibnu Taymiyyah…

Dan pemikiran-pemikiran takfir ini sebenarnya bersembunyi dengan pendapat-pendapat yang rosak ini dan menjadikannya sebagai jalan untuk menuduh umat Islam dengan syirik dan kufur dengan menyandarkan setiap kefahaman yang salah ini kepada Sheikh Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmatinya) adalah daripada tipu daya dan usaha menakutkan yang dijalankan oleh pendokong-pendokong pendapat luar (yang bukan daripada Islam ini) untuk mereka memburuk-burukkan kehormatan umat Islam.

Dan inilah sebenarnya hakikat mazhab golongan Khawarij dan telah banyak nas-nas Syariat menyuruh agar kita berhati-hati daripada terjebak ke dalam kebathilannya.”
Pembahasan :
1. Syirik dan Tauhid (Iman)  tidak mungkin bersatu. Hal ini adalah 2 perkara yang berlawanan bagai siang dengan malam.
“Tidak boleh berkumpul antara iman dan kikir di dalam hati orang yang beriman selama-lamanya” [HR Ibn Adiy].
lihatlah : iman dan bakhil saja tidak akan bercampur!
apalagi iman dengan KUfur!!!!
TIDAK ADA SEBUTAN UMMAT BERTAUHID BAGI YANG TAUHIDNYA BERCAMPUR DGN KUFUR, YANG ADA ADALAH “MUSYRIK” SECARA MUTLAK!
2. Orang kafir di nash kafir tidak layak disebut bertauhid (dengan tauhid apapun) bahkan orang yang telah masuk islam tapi melakukan perbuatan yang membuat mereka kufur, itupun tak layak mendapat sebutan bertauhid dan di nash sebagai KAFIR SECARA MUTLAK!
Dalil Kufur Fi’li:
Maknanya: “Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan…” (Q.S. Fushshilat: 37)
Dalil Kufur Qauli:
Maknanya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan) tentulah mereka akan menjawab sesungguhnya
kami hanyalah bersendagurau dan bermain-main saja. Katakanlah apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu berolok-olok , tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman …” (Q.S. at-Tubah 65-66)
Maknanya: “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka telah mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kufur dan menjadi kafir sesudah mereka sebelumnya muslim …” (Q.S. at-Taubah: 74)
3. Iman itu yakin sepenuhnya dalam hati, diucapkan dgn lisan dan diamalkan dengan lisan. Orang hanya ucapannya saja itu tak layak disebut beriman/bertauhid!
Maknanya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka
tidak ragu-ragu…” (Q.S. al Hujurat: 15)
4. Tidak ada pembagaian Tauhid rububiyah dan uluhiyah. Tauhid uluhiyah ialah tauhid rububiyah dan tidak bisa dipisah.
Dari abu dzar ra. berkata, rasulullah saw bersabda : “Tidaklah seorang hamba Allah yang mengucapkan Laa ilaha illallah kemudian mati dengan kalimat itu melainkan ia pasti masuk sorga”, saya berkata : “walaupun ia berzina dan mencuri?”, Beliau menjawab :” walaupun ia berzina dan mencuri”, saya berkata lagi : “walaupun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab :” walaupun ia berzina dan mencuri, walaupun abu dzar tidak suka” (HR imam bukhary, bab pakaian putih, Hadis no. 5827). Lihat ratusan hadis ttg kalimat tauhid laa ilaha illah dalam kutubushitah!
Kalimat “laailaha illalllah” mencakup rububiyah dan uluhiyah, kalau saja uluhiayah tak mencukupi, maka syahadat ditambah : “laa ilaha wa rabba illallah”
tapi nyatanya begitu!!
hadis tentang pertanyaan malaikat munkar nakir di kubur : “Man rabbuka?”
kalaulah tauhid rububiyah tak mencukupi, pastilah akan ditanya : Man rabbuka wa ilahauka?, tapi nyatanya tidak!!
5. WAHABY MENGGELARI ORANG YANG DI NASH KAFIR SECARA MUTLAK OLEH ALLAH DAN RASUL-NYA DENGAN GELAR “UMAT BERTAUHID RUBUBIYAH”
- orang kafir tetap di sebut kafir secara mutlak, tak ada satupun  gelaran “tauhid” bagi mereka! lihat QS. Az Zukhruf ayat 88
وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
وَقِيلِهِ يَارَبِّ إِنَّ هَؤُلَاء قَوْمٌ لَّا يُؤْمِنُونَ
فَاصْفَحْ عَنْهُمْ وَقُلْ سَلَامٌ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
86. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)1368.
87.Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?,
88.dan (Allah mengetabui) ucapan Muhammad: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman (tidak bertauhid DI NASH KAFIR SECARA MUTLAK!!)”.
89.Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: “Salam (selamat tinggal).” Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).
(QS. Az Zukhruf : 86-89)
Orang kafir menurut tauhid rububiyah wahaby sendiri tidak yakin 100% kerububiyahan Allah
MEREKA MASIH MENYAKINI BERHALA-BERHALA BISA MEMBERI MANFAAT!!! Mereka telah di nash kafir atau tidak ada iman oleh Allah dan rasulnya!,  tak ada satupun  gelaran “tauhid” bagi mereka! lihat QS. Az Zukhruf ayat 88
Sedangkan “seorang kafir tidak mungkin muslim apalagi mu’min (beriman/bertauhid)
dan “seorang mu’min itu pasti muslim, tetapi seorang muslim belum tentu mu’min” sesuai dengan firman Allah :
Surat alHujurat : 14
Jadi , muslim =  orang islam (secara hukum) sudah syhadatain
munafiq = muslim (secara hukum) yang bukan mu’min, dhahirnya muslim tapi aqidahnya belum betul
mu’min = orang yang iman betul dan kuat dan pasti muslim
kafir = bukan bukan muslim apalagi mu’min
‘Orang-orang Arab Badui berkata, “kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu … ”
kenapa wahaby menghukumi orang kafir sebagai “umat bertauhid/beriman rububiyah”????
Kesimpulan (silahkan rujuk pusat fatwa al-azhar mesir):
orang Wahabi mengatakan : orang kafir mengakui adanya Allah tetapi mereka menyembah selain Allah.
Jadi, kata mereka, ada orang yang mengakui adanya Tuhan tetapi menyembah selain Tuhan adalah bertauhid Rububiyah iaitu Tauhidnya orang yang mempersekutukan Allah. Adapun Tauhid Uluhiyah ialah tauhid yang sebenar-benarnya iaitu mengesakan Tuhan sehingga tidak ada yang disembah selain Allah.
Demikian pengajian Wahabi.Pengajian seperti ini tidak pernah ada sejak dahulu. hairan kita melihat falsafahnya. Orang kafir yang mempersekutukan Tuhan digelar kaum Tauhid. Adakah Sahabat-sahabat Nabi menamakan orang musyrik sebagai ummat Tauhid? Tidak!
Syirik dan Tauhid tidak mungkin bersatu. Hal ini adalah 2 perkara yang berlawanan bagai siang dengan malam. Mungkinkah bersatu siang dengan malam serentak?Begitulah juga tidak adanya syirik dan tauhid bersatu dalam diri seseorang. Sama ada dia Tauhid atau Musyrik. Tidak ada kedua-duanya sekali. Jelas ini adalah ajaran sesat dan bidaah yang dipelopori oleh puak Wahabi & kini telah merebak ke dalam pengajian Islam teruatamnya di Timur Tengah. Kaum Wahabi yang sesat ini menciptakan pengajian baru dengan maksud untuk menggolongkan manusia yang datang menziarahi makam Nabi di Madinah, bertawasul dan amalan Ahlussunnah wal Jamaah yang lain sebagai orang “kafir” yang bertauhid Rububiyah dan yang mengikuti mereka sahaja adalah tergolong dalam Tauhid Uluhiyah.


2. Al-Allamah Al-Mufassir Al-Muhaddith Al-Faqih al-Sheikh Abdurrahman Khalifah dan Fatwa Ulama’ Al-Azhar Menolak Wahhabiyyah Taymiyyah

1. Semoga Allah SWT merahmati al-Sheikh Abdurrahman Khalifah (Lahir 1877M 1294H, Wafat pada 1364H)…seorang mufassir, seorang Muhaddith, seorang Faqih, seorang penyair dan sasterawan arab, di kalangan ulama’ al-Azhar yang masyhur. Bapa beliau, al-Sheikh Khalifah tergolong di kalangan ulama’ besar (kibar al-ulama’) al-Azhar, adik-beradik beliau juga tergolongan di dalam golongan ulama’ yang masyhur. Beliau telah melahirkan ramai para ulama’ yang masyhur, semoga kita mendapat keberkatan daripada Allah SWT dengan kedudukan beliau di sisi-Nya…..Allah Allah…
2. Di dalam kitab beliau yang padat ini bertajuk (Al-Mushabbihah wa al-Mujassimah) [maksudnya: Golongan Yang Menyerupakan Allah dengan Makhluk dan Meletakkan Sifat Jisim pada Allah] …Maha Suci Allah. Beliau mendedahkan sikap majalah berfahaman Wahabi (bertajuk al-Huda) di Mesir yang “berlagak” seumpama orang-orang soleh dan nabi apabila dilanyak/diserang/ditolak oleh para ulama’…kononnya mereka (Wahabi) tidak mahu terlibat dengan kekotoran keji mengeji dan caci maki sesama Muslim….maka ramailah orang awam yang terpedaya…dengan kepura-puraan mereka … sedangkan merekalah (Wahabi) yang telah memulakan sikap memburuk-burukkan, mengkafirkan, mencaci maki, menuduh para ulama’ Islam dengan kejahilan… inilah sifat golongan Wahabi apabila mereka diserang dengan hujah ilmiah….. Di dalam kitab ini juga, beliau telah menyentuh beber apa perkara yang tidak disentuh di dalam kitab-kitab lain berkenaan kekeliruan yang berlaku.

Komen Penulis: Wahabi ni memang pandai “tai-chi” apabila tak ada hujah ilmiah…
3. Namun itu bukanlah perkara utama yang ingin penulis tekankan di sini. Di sini kami nukilkan “Fatwa Ulama’ Al-Azhar” pada era al-Sheikh Abu al-Fadhl Al-Jizawi mengenai kitab “Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah” yang dikarang oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyyah yang disertakan di dalam kitab ini…
[Klik pada gambar untuk membesarkannya]
Terjemahan:

[[[ Ini adalah nukilan bagi fatwa para mashayikh al-Azhar di zaman al-Maghfur Lah al-Sheikh ABu al-Fadhl al-Jizawi berkenaan kitab "Ijtima' al-Juyush al-Islamiyyah" dan apa yang terkandung di dalamnya daripada pandangan-pandangan yang mentashbihkan Allah

Ayat al-Quran: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” Ayat 7: Surah Ali Imran.

Keputusan Berkenaan Kitab “Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah” yang disandarkan kepada Ibnu Qayyim al-Jawziyyah yang telah dibawa kepada ulama’ Al-Azhar untuk tujuan memberi pendapat mereka berkenaan kitab ini dan inilah ia:

“Kitab ini telah ditulis oleh penulisnya Ibn al-Qayyim untuk menyokong pendapatnya dan pendapat sheikhnya Ibnu Taymiyyah dalam perkara berkenaan nas-nas Mutashabihat yang terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah, yang mana mereka (Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Taymiyyah) mewajibkan beriman dengan makna zahir nas-nas tersebut walaupun ia bertentangan dengan fahaman akal yang sihat/sejahtera, dan walaupun makna zahir tersebut tersangat jelas dalam menyebabkan Tashbih (Menyerupakan Allah dengan makhluk) dan Tajsim (meletakkan sifat jisim ke atas Allah),

Dalam hal ini, mereka (Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Taymiyyah) bertentangan dengan perkumpulan umat-umat Islam dan persepakatan para ulama’ Islam yang telah bersepakat bahawa prinsip-prinsip asas aqidah dan isu-isu berkaitan ketuhanan hanyalah diambil daripada dalil-dalil akal yang pasti, dan apabila aqal dan naqal bertentangan dalam hal-hal tersebut maka diutamakan akal kerana ia (akal) adalah asas beriman dengan naqal.

Dan dalil akal yang pasti itu menunjukkan bahawa wajib Allah SWT itu suci daripada menyerupai perkara-perkara baharu (makhluk) kerana kalau Dia menyerupai yang baharu itu, maka Dia jua adalah baharu, dan ini adalah mustahil.

Dan telah datang nas-nas Shariat yang banyak yang menguatkan akidah ini (Allah tidak menyerupai yang baharu) melainkan hanya sedikit ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang mengandungi sedikit sangkaan tashbih pada zahirnya, maka wajiblah dikatakan makna yang zahir (yang mengandungi sangkaan tashbih itu) itu mustahil kerana berdasarkan fahaman akal yang sahih dan nas-nas Al-Quran dan Hadis Muhkam (Yang Jelas, Tepat dan Tidak Dinasakh Maknanya) yang mewajibkan tanzih (Menyucikan Allah Daripada Segala Sifat-sifat Yang Tidak Layak Bagi-Nya, Menolak Tashbih dan Tajsim).” ]]]

Sedikit Huraian:
4. Seorang alim yang masyhur seperti Sheikh Abdurrahman Khalifah telah menolak golongan Wahhabi dengan secara terang dan jelas serta menyatakan bahawa mereka membawa fahaman Tashbih dan Tajsim. Namun, ada di antara kita yang masih berdegil. Mengapa, fikirlah sendiri. Kita yang tidak faham masalah sebenar? atau Sheikh Abdurrahman Khalifah yang silap faham? Fikir-fikirkanlah.
5. Para ulama’ al-Azhar pada zaman Sheikh Abu al-Fadhl al-Jizawi telah sepakat menolak akidah yang dibawa di dalam kitab-kitab Ibnu Taymiyyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah dan menyatakan bahawa akidah mereka bertentangan dengan majoriti umat dan ulama’ Islam. Bagaimanakan pendirian anda? Patutkan anda berkata bahawa ulama’ al-Azhar tersilap faham? Fikir-fikirkanlah

6. Sekirangnya anda meneliti kandungan rujukan kitab-kitab golongan Wahhabi pada hari ini, banyak daripada mereka menjadikan kitab “Ijtima’ al-Juyush al-Islamiyyah” ini sebagai rujukan mereka. dan anda telah pun mengetahui kedudukan kitab ini daripada kacamata ulama’ al-Azhar.

7 Banyak lagi yang tidak dapat kami tuliskan di sini. Diharapkan agar anda semua terus berdoa dan mengkaji. Semoga Allah SWT menunjukkan kepada kita jalan yang lurus.

LAMPIRAN

Daftar para ulama’ yang telah menolak Wahhabi/Hashawiyyah/al-Jahwiyyah/Tajsim & Tashbih ala Ibnu Taymiyyah dan anak muridnya Ibnu al-Qayyim dan nas-nas mereka telah disertakan di dalam blog ini:
Ulama’ Arab:
1. al-Imam al-’Allamah Al-Sheikh Muhammad Ibn Abdullah Ibn Humayd al-Najdi al-Hanbali, Mufti Mazhab Hanbali di Mekah al-Mukarramah (Wafat 1295H)
2. Khatimah al-Muhaqqiqin al-Imam Muhammad Amin (terkenal dengan gelaran Ibn Abidin), alim besar mazhab Hanafi
3. al-Sheikh Prof. Dr. Muhammad Saed Ramadhan al-Bouthi
4. Mufti Mazhab Shafie di Masjidil Haram, Sheikh Ahmad Zayni Dahlan
5. Al-Qadhi al-Sheikh Yusuf al-Nabhani al-Shafi’e, Qadhi Mahkamah Syariah/ Ketua Mahkamah Tinggi di Beirut [wafat 1350 H], Kitab beliau yang menolak Wahabi ditaqridz (disemak dan dipuji) oleh:

*Hadrah al-Ajall al-Afkham Al-‘Allamah Al-Jalil Al-Akram Al-Marhum al-Sayyid Ali al-Bablawi al-Maliki – Mantan Sheikh al-Jami’ al-Azhar (Sheikh Masjid Jami’ al-Azhar) ;
*Al-‘Allamah al-Kamil Al-Fahhamah al-Fadhil Sheikh Mashayikh al-Hanafiyyah (Sheikh Para Ulama’ Mazhab Hanafi) dan Mantan Mufti Mesir al-Marhum al-Sheikh Abd al-Qadir al-Rafi’e;
*Sheikh al-Islam, Mahathth Nazr al-‘Anam Sheikh al-Jami’ Al-Azhar (Sheikh Masjid Jami’ al-Azhar) al-Sheikh Abd al-Rahman al-Sharbini;
*Hadrah al-Ustaz al-Mukarram al-Allamah Al-Afkham U’jubah al-Zaman wa Marja’ al-Ummah fi Mazhab al-Nu’man Sahib al-Fadhilah al-Sheikh al-Bakri al-Sadafi, Mufti Mesir dan Ketua Ulama’ Mazhab al-Hanafi Al-Sheikh Muhammad Bakri Muhammad ‘Ashur al-Sadafi;
*Hadrah al-Allamah Shams Bahjah al-Fudala’ wa Durrah Uqad Zawi al-Tahqiq al-Nubala’ al-Ustaz al-Fadhil wa al-Fahhamah al-Kamil al-Sheikh Muhammad Abd al-Hayy Ibn al-Sheikh Abd al-Kabir al-Kattani Al-Hasani – di antara ulama’ yang teragung di Maghribi;
*Hadrah al-Hasib al-Nasib al-Ha’iz min darari al-Majd aw fi nasib zi al-kamal al-Zahir wa al-‘Ilm al-Wafir al-Sayyid Ahmad Bek al-Husayni al-Shafie al-Muhami al-Shahir – alim mazhab al-Shafie;
*Hadrah al-‘Allamah al-Kabir wa al-Fahhamah al-Shahir, Subhan al-Zaman wa Ma’din al-Fadl wa al-‘Irfan al-Sheikh Sulayman al-‘Abd al-Shibrawi al-Shafie al-Azhari – alim mazhab al-Shafie;
*Hadrah al-Allamah al-Lawza’I al-Fahhamah, Ma’din al-Kamal wa Insan ‘Ayan al-Fadl wa al-Jalal, al-Sheikh Ahmad Hasanayn al-Bulaqi – salah seorang ulama’ mazhab al-Shafie di Al-Azhar;
*Hadrah al-‘Allamah Al-Fadhil wa al-Malazz al-Kamil al-Sheikh Ahmad al-Basyouni – Sheikh Mazhab Hanbali di Al-Azhar;
*Al-Allamah al-Sheikh Said al-Muji al-Gharqi al-Shafie al-Azhari – di antara ulama’ mazhab al-Shafie di Al-Azhar; dan
*Al-‘Allamah Al-Sheikh Muhammad al-Halabi al-Shafie Al-Misri Al-Azhari – di antara ulama’ mazhab al-Shafie di Al-Azhar.

6. Sultan al-Ulama’, Imam Izzuddin Ibn Abd al-Salam, alim besar mazhab al-Shafie
7. Penutup Para Fuqaha’ dan Ulama’ Hadis, Sheikh al-Islam Al-Imam Ibnu Hajar al-Haytami Al-Makki Al-Sa’di, alim besar mazhab Shafie dan pelbagai disiplin ilmu.
8. al-Qadhi Ibn Jahbal [Wafat 733H] seorang faqih mazhab Shafie dan ulama’ mazhab al-Asha’irah yang merupakan salah seorang alim yang sezaman dengan Ibnu Taymiyyah [Wafat 728H].
9. Imam Abu Zahrah (menolak metodologi Ibnu Taymiyyah dalam memahami mutashabihat)
10. Al-Allamah Al-Mufassir Al-Muhaddith Al-Faqih al-Sheikh Abdurrahman Khalifah
11. Ulama’ Al-Azhar pada era al-Sheikh Abu al-Fadhl Al-Jizawi

Ulama’ Melayu:
1. Abu Zahidah Bin Haji Sulaiman
2. Abu Qani’ah – Haji Harun Bin Muhammad al-Samadi al-Kalantani
Kitab mereka berdua telah ditaqridz (disemak dan dipuji) oleh tiga ulama’ Melayu di utara tanah air pada waktu itu. Mereka ialah:

*Sheikh Abdullah Fahim;
*Sheikh Tuan Haji Ahmad Bin Tuan Hussein (Kedah); dan
*Sheikh Tuan Guru Haji Abdurrahman Merbuk, Kedah.
3. Sheikh Ahmad al-Fathani.

“Hidayah itu milik Allah jua”.

Senin, 30 Mei 2011

Wahabi-Salafy: Aliran Garis Keras dan Puritanisme

Sikap tidak mendukung pluralisme dalam kehidupan beragama cenderung melahirkan teroris baru. Demikian ungkap Intelektual Muslim, Jalaluddin Rahmat, saat membahas buku berjudul “Dua Wajah Islam: Moderatisme Vs Fundamentalisme”, karya Stephen Sulaiman Schwartz terbitan The Wahid Institute. Buku itu memotret salah satu aliran Islam di Arab Saudi, Wahabi (Kompas, 3/11).
Jalaluddin mengakui, penganut Wahabi ditandai dengan melekatnya perasaan paling suci. Mereka menganggap kelompok mereka sebagai penganut tauhid murni. Dengan melekatnya perasaan paling suci, kaum Wahabi cenderung eksklusif dan antipluralisme. Mereka menganggap surga hanya miliknya. Sikap itu berdampak pada keengganan beradaptasi terhadap tradisi daerah setempat. Mereka hanya mengakui tradisi dari Arab Saudi, tempat asalnya.
Pernyataan Jalaluddin ini menunjukkan bahwa radikalisme dan terorisme merupakan buah dari corak teologi. Sebagaimana diketahui bahwa teologi yang berkembang dalam sejarah Islam sebenarnya cukup banyak. Di antaranya yaitu Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Maturidiyah, Asy’ariyah, dll. Masing-masing teologi mengembangkan corak penafsiran akidah yang khas. Namun secara garis besar semua aliran teologi itu dapat dipetakan dalam kelompok liberal, progresif, moderat yang cenderung inklusif, dan puritan, fundamentalis yang cenderung eksklusif.
Garis Keras
Dalam awal sejarah Islam, penganut teologi Khawarij disebut oleh para sejarawan sebagai kelompok yang merepresentasikan “garis keras”. Mereka cenderung tidak toleran terhadap kelompok lain di luar teologinya. Bahkan mereka melancarkan aksi pembunuhan terhadap kelompok dan tokoh yang dinilai sudah keluar dari ajaran Islam (kafir). Sayidina Ali ra. merupakan salah satu korban pembunuhan dari kelompok ini.
Pada dasarnya puritanisme dan fundamentalisme yang dianut Khawarij adalah ekspresi keimanan yang paling dalam. Jadi merupakan sesuatu yang tulus dari hati mereka. Namun ekspresi keimanan itu malah menimbulkan kerusakan terhadap lingkungannya. Hal ini disebabkan oleh corak teologi yang tidak memberi ruang adanya perbedaan interpretasi. Selain itu juga terlalu rigid dalam melihat persoalan.

Dengan demikian apa yang dikatakan Jalaluddin di atas, memiliki landasan historis. Jika saat ini juga ada kelompok Islam yang corak teologinya puritan dan fundamentalis, maka memiliki kecenderungan menjadi radikal dan menggunakan teror dalam ekspresi keagamaannya.
Sementara itu KH Abdurahman Wahid, pendiri The Wahid Institute, justru mempertanyakan alasan kaum Wahabi memilih “garis keras” yang kurang dimunculkan dalam buku itu. Kita harus obyektif. Pahami dulu latar belakang sejarah mereka dan hubungan kerjasama mereka dengan dinasti Saudi.

Pernyataan Gus Dur bisa dikategorikan sebagai gugatan terhadap simplikasi penilaian bahwa semua kelompok yang beraliran Wahabi sebagai negatif dan menyukai kekerasan. Obyektivitas, sebagaimana ditegaskan Gus Dur, memang menjadi sesuatu yang penting dalam penelitian sosial. Peran faktor tertentu yang menyebabkan sebuah kecenderungan tertentu dalam suatu masyarakat, belum tentu berlaku sama dalam masyarakat lain. Obyektivitas dimaksudkan sebagai upaya menyingkirkan prasangka dalam penelitian sosial. Bukan tidak mungkin bahwa ada faktor lain yang memengaruhi kekerasan dan radikalisme dalam kasus gerakan Wahabi di Arab Saudi.
Perlu Objektivitas
Menurut Bryan Fay, seorang pakar Filsafat Ilmu Sosial dari Conectitut University America, obyektivitas adalah kebenaran yang tidak hanya ada dalam pikiran. Kebenaran yang hanya dalam pikiran merupakan distorsi terhadap realitas. Hal ini merupakan cermin dari ideologi. Karena itu obyektivitas merupakan sesuatu yang penting dalam menganalisis kasus Wahabi.

Sedangkan menurut Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina, Ihsan Ali Fauzi, buku Stephen memberikan potret lain dari Arab Saudi yang selama ini hanya dikenal sebagai tempat menunaikan ibadah Haji dan penghasil minyak. Diperkirakan akan banyak orang Indonesia yang terkejut dengan isi buku ini karena terkait penggambaran Arab Saudi. Survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai negara asing favorit orang Indonesia, Arab Saudi menempati peringkat pertama dengan pemilih sebanyak 92 persen.
Sebenarnya hasil survei LSI tidak terlalu mengejutkan. Bagi sebagian besar umat Islam di dunia, Arab Saudi, masih menjadi kiblat nilai-nilai kebaikan. Jadi Indonesia merupakan cermin dari perasaan hampir semua negara-negara Muslim di dunia. Selain itu hubungan tokoh-tokoh Islam Indonesia dengan Arab Saudi, terutama Mekah dan Madinah, sudah terjalin sangat lama, kira-kira sejak abad ke-16 (lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara abad ke-17 dan 18). Relasi itu menempatkan Indonesia sebagai “murid” dan Arab Saudi sebagai “guru”.
Dalam hampir semua aspek kebudayaan, masyarakat Islam Indonesia memandang kebudayaan Arab Saudi sebagai sepenuhnya Islam yang ideal. Dengan begitu, amat boleh jadi, penggambaran yang bernuansa negatif atau kritis terhadap Arab Saudi akan mengejutkan sebagian masyarakat Islam Indonesia.(CMM/M. Hilaly Basya)
Sumber : http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=4996_0_3_0_C

Aliran-aliran pemikiran dalam Islam

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kat”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.

Munculnya perbedaan antara umat Islam

Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

Pada masa nabi Muhammad berada di Madinah dengan status sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan, umat Islam bersatu di bawah satu kekuasaan politik. Setelah beliau wafat maka muncullah perselisihan pertama dalam Islam yaitu masalah kepemimpinan. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman pertikaian sesama umat Islam berikutnya terjadi ya pada pembunuhan Usman bin Affan, khalifah ketiga.

Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.

Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.

Aliran-aliran teologi Islam

Persoalan “dosa besar” ini sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran pemikiran karena ini masalah krusial yang menyangkut dengan apakah seseorang bisa menjadi kafir karena berbuat dosa besar dan kemudian halal darahnya. Aliran Khawarij mengatakan bahwa pendosa besar adalah kafir maka wajib dibunuh. Paham Khawarij ini memicu munculnya paham yang berseberangan yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun dosanya terpulang kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak. Paham ini dilontarkan oleh aliran Murji’ah. Sementara aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir tapi juga tidak bisa disebut mukmin. Mereka berada pada posisi antara keduanya yang dikenal dengan istilah al-manzilah baina al-manzilatain.

Dalam hal apakah orang mempunyai kemerdekaan atau tidak dalam berbuat ada dua aliran yang saling bertentangan. Al-Qadariah mengatakan manusia merdeka dalam berkehendak dan berbuat, sebaliknya Jabariah menolak free will dan free act. Menurut Jabariah manusia bertindak dengan kehendak dan paksaan Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut sebagai fatalisme. Dalam masalah ini aliran yang sepaham dengan Qadariah adalah aliran Mu’tazilah yang juga mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan sesuatu sehingga manusia diminta pertangungjawaban atas perbuatannya. Sementara Abul Hasan al-Asy’ari (935 M) seorang pengikut Mu’tazilah yang keluar dari Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang disebut dengan Asy’ariah memilih posisi lebih dekat ke Jabariah.Menurutnya seluruh perbuatan manusia adalah atas kehendak Allah hanya saja manusia, menurutnya, bisa berikhtiar. Selain Asy’ariah, Tahwiah dan Maturidiah juga menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Keutamaan Keutamaan Dzikir

Suatu hari para fakir miskin dari kalangan sahabat mendatangi rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, mereka berkata , Wahai Rasulullah,orang-orang kaya telah mendahului kami dengan membawa derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi.”Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya, Kenapa demikian? Para sahabat tadi melanjutkan, “orang-orang kaya tersebut shalat sebagaimana kami juga sholat, mereka puasa sebagaiman kami juga berpuasa, tapi mereka bersedekah dan kami tidak bisa bersedekah, mereka membebaskan budak dan kami tidak bisa.”
Demikianlah keluhan para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka merasa sedih ketika mendapati ada orang lain yang lebih baik amalannya. Perlombaan ke negeri akhirat.oleh karena itu jadilah mereka sebaik baik umat.maka pantas saja kalau Allah subahanahu wa ta’ala menjadikan cara keimanan mereka standar dalam mengukur kebenaran dari kebatilan.
Allah ta’la berfirman :
فَإِنۡ آمَنُواْ بِمِثلِ مَآ آمَنتُم بِهِۦ فَقَدِ ٱهتَدَواْ‌ۖ وَّإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا هُمۡ فِى شِقَاقٍ۬‌ۖ فَسَيَكفيكهم ٱللَّهُ‌ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلعَلِيمُ
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian (para shahabat) telah beriman kepadanya, sesungguh mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Al Baqarah:137)
Al Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- berkata, ayat ini memposisikan keimanan para shahabat Nabi sebagai standar dan ukuran dalam membedakan petunjuk dari kesesatan dan kebenaran kebatilan . Maka apabila para ahli kitab beriman seperti keimanan mereka (para shahabat) berarti mereka telah mendapatkan hidayah mutlak yang sempurna. Dan apabila mereka berpaling dari beriman seperti keimanan para shahabat maka mereka telah jatuh pada kebinasaan yang jauh.” Lihat Juga An Nisaa’:115
Lalu Rasullah shalallhu ‘alaihi wasallam berkata menerangkan mereka, “inginkah kalian aku ajarkan sesuatu dengannya kalian bisa menyusul orang-orang yang mendahului kalian dan kalian bisa meninggalkan orang-orang yang dibelakang kalian, dan tidak ada seorang pun yang lebih baik dari kalian, kecuali mereka yang juga mencontoh amalan kalian?”
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tahu betul bahwa perlombaan sebenarnya adalah ini.persis seperti yang Allah subahanahu wa ta’ala firmankan:
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٍ۬ مِّن رَّبِّكمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَـٰوَٲتُ وَٱلأَرۡضُ أُعِدَّتۡ للمُتَّقِينَ
Dan beregeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan Bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.(Al-Imran:133)
Bukan berlomba-lomba dalam dunia yang jelas-jelas tercela dalam agama,
Ketahuilah, Bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga tentang banyaknya harta dan anak,seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan Allah serta keridlaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”(al-Hadiid:20)
Lalu para shahabat tersebut dengan antusias menjawab, “tentu ya rasulullah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bertasbih, bertakbir dan bertahmid lah kalian pada setiap kali selesai shalat wajib sebanyak 33 kali. (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).
Alangkah besarnya fadhilah berdzikir kepada Allah subahanahu wa ta’ala, dengan tasbih (ucapan subahanallah) , Takbir (ucapan Allahu Akbar), Tahmid (ucapan Alhamdulillah) yang dibaca seorang hamba seperti yang dituntunkan Nabi-Nya ia akan mendapatkan keutamaan-keutamaan diatas.Demikianlah dzikir kepada Allah subahanahu wa ta’ala, bahkan Allah subahanahu wata’ala mengancam orang-orang yang hatinya lalai dari berdzikir mengingat Allah subahanahu wa ta’ala dalam firmanNya:
أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُ ۥ لِلإِسلا مِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ۬ مِّن رَّبِّهِۦ‌ۚ فَوَيلٌ۬ لِّلقَـٰسِيَةِ قُلُوُبهم مِّن ذِكرِ ٱللَّهِ‌ۚ أُولئكَ فِى ضَٰلالٍ۬ مُّبِينٍ
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya (untuk) menerima agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membantu hatinya) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membantu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”(Az-Zummar:22)
Dan diantara Fadilah-Fadilah dzikir yang lain adalah seperti yang disebutkan dalam banyak dalil al Qur’an mauopun hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
1. Dzikir merupakan penangkal ampuh dari godaan-godaan syaithan.
Allah subahanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيطَـٰنِ نَزۡغٌ۬ فَٱستَعِذۡ بِٱللَّهِ‌ۖ إِنَّهُ ۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلعَلِيمُ
Dan Jika Syaithan mengganggumu dengan suatu ganguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushilat:36)
Dan hadits-hadits dlam hal ini banyak, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shalat dalam Shahihnya, Bahwa Suhail bin Abi Shalih bercerita, “Suatu hari Bapakku mengutusku pergi kekabilah Bani Haritsah maka akupun pergi bersama seseorang teman.Tiba-tiba terdengar suara memanggil-manggil nama temanku dari balik sebuah tembok. Dan ketika temanku melihat ke balik tembok tempat suara tadi berasal, ia tidak mendapati seseorangpun disana. Maka sepulangnya kami kerumah aku ceritakan kejadian ini kepada bapakku, dan dia berkata:” seandainya akau tahu bahwa kamu akan mengalami kejadian ini tentu aku tidak akan mengutusmu, tapi apabila kamu mendengar suara maka kumandangkanlah adzan, karena aku mendengar Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu membawakan hadits dari nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “ Sesungguhnya syaithan apabila terdengar panggilan shalat (adzan) lari tungang langgang.
2. Dzikir seorang hamba akan memenuhi timbangan kebaikannya di akhirat.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“(Ucapan) Alhamdulillah memenuhi timbangan dan (ucapan) Subahanallah wal hamdulillah keduanya memenuhi antara langit dan Bumi.”( HR. Muslim dari Abu Malik Al Asy’ary radhiyallahu ‘anhu)
3. Allah subahanahu wa ta’ala mencintai orang yang berdzikir kepada-Nya.
Allah subahanahu wa ta’ala berfirman:
فَٱذۡكُرُونِىٓ أَذۡكُرۡكُمۡ وَٱشكُرُواْ لِى وَلا تَكُفرُونِ
Berzikirlah kalian kepada-Ku niscaya Akau akan mengingat-ingat kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Ku (atas berbagai nikmat yang Aku berikan kepad kalian) serta janganlah kalian mengikarinya. (al-Baqarah:152)
dan disebukan didalam hadits abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Ada dua kalimat yang ringan bagi lisan dan berat ditimbangan dan dicintai oleh ar-Rahman yaitu: Subahanallah wabihamdih, Subahanallahil ‘Adzim.”(Bukhari-Muslim)
4. Dzikir kepada Allah subahanahu wa ta’ala menggugurkan dosa-dosa.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
Barang siapa yang membaca “Subahanallahi wabihamdih seratur kali dalam sehari , akan digugurkan dosa-dosanya walaupun sebanyak buih dilautan.” (Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
5. Dengan Dzkir Allah subahanahu wa ta’ala akan tambahkan rezeki dan keturunan seseorang. Allah subahanahu wata’ala berfirman:
فَقُلتُ ٱستَغفرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُ ۥ كَانَ غَفَّارً۬ا 
يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيكُم مِّدۡرَارً۬ا 
وَيُمۡدِدۡكُم بِأَموَٲلٍ۬ وَبَنِينَ وَيَجعَل لَّكُمۡ جَنَّا تٍ۬ وَيَجعَل لَّكُمۡ أَنهاٰرً۬ا 
Maka aku katakan kepada mereka: Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu, dan menggandakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh:10-12)
Dan Fadilah-fadilah lainnya yang teramat banyak yang tidak mungkin disebutkan semuanya pada kesempatan yang singkat ini.
Dan dzikir kepada Allah subahanahu wa ta’ala apabila ditinjau dari sisi hukumnya,
Dzikir terbagi menjadi dua macam:
Pertama : Dzikir yang diwajibkan
Shalat misalnya merupakan termasuk dari dzikir-dzikir yang wajib, karena didalamnya terkandung dzikir-dzikir kepada Allah subahanahu wa ta’ala seperi membaca al Qur’an.
Kedua: Dzikir yang tathawwu’ ( yang Mustahab)
Seperti bacaan tasbih (subahanallah), tahlil (laa ilaaha ilallah), Takbir (Allahu Akbar).
Sedangkan apabila ditinjau dari sisi bentuknya.dzikrullah terbagi menjadi dua macam:
Pertama : dzikir anggota badan
Seperti dengan ucapan dan anggota badan. Cara ini dapat dilakukan oleh seseorang mukmin maupun munafiq
Kedua: Dzikir dengan hati. Dimana hati seseorang senantiasa ingat kepada Allah subahanahu wa ta’ala, senatiasa merasa diawasi Allah subahanahu wa ta’ala, sehingga dia berupaya untuk menjalankan perintah-perintah-Nya. Dia Esa-kan Allah subahanahu wa ta’ala dan tidak menyekutukan-nya. Dia menjalankan sunnah atau ajaran Nabi-Nya dan meninggalkan larangannya. Dia senantiasa ta’at kepada-Nya dan jauh dari maksiat. Maka dzikir ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh seorang Mukmin. Wallahu a’lam bishawab.
Diambil dari : Buletin Mimbar Islami Depok Edisi 1, jum’at 13 Rabi’ul awwal 1427 H, Dikutip dari http://mimbarislami.or.id, Penulis : Al Ustadz Jafar Salih, Judul:Fadilah-fadilah dzikir
Baca Risalah terkait ini :
1.Kumpulan Dzikir dan Do’a (Hisnul Muslim 1) Perisai Seorang Muslim-I
2.Kumpulan Dzikir dan Do’a (Hisnul Muslim 2) Perisai Seorang Muslim-II

Jumat, 25 Maret 2011

ALIRAN AL-ASY’ARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH

BAB I
A. SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN AL-ASY’ARIYAH
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat pada tahun 935 Masehi. (harun nasution)Beliau masih keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan Mu’awiyah.
Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-mu’tazilahannya, ia gencar menyebar luaskan paham mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya.
Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.(harun nasution, teologi islam).
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya.
Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Disini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran ? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah.
B. TOKOH-TOKOH DAN AJARAN-AJARANNYA
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.


2. Abd al-Malik al-Juwaini

Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi. . Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
C. SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN AL-MATURIDIYAH
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem teologinya.
Pendiri dari aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi yang lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal pada tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-pahamnya mempunyai banyak persamaan dengan paham-paham yang diajarkan oleh Abu Hanifah. Aliran teologi ini dikenal dengan nama Al-Maturidiyah, yang sesuai dengan nama pendirinya yaitu Al-Maturidi.
D. TOKOH-TOKOH DAN AJARAN-AJARANNYA
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.
Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.


BAB II

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AL-ASY’ARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH

A. PERSAMAANNYA
1. Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
2. Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
3. Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
4. Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an pada surat al-Qiyamah : 23 :
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.”
5. Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari an Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.”(Ittihafus Sadatil Muttaqin 2 : 6)
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.”(Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah hal.3)
B. PERBEDAANNYA
1. Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan Al-Maturidi menganut paham Jabariyah.
2. Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan.
3. Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
 
REFERENSI

Abuy Sodikin & Barduzaman Metodologi Studi Islam, Tunas Nusantara, Bandung, 2000

Ahmad Hanafi Ilmu Kalam
Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok Metodologi Studi Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999
Hamzah Ya’kub Filsafat Ketuhanan, Al-Ma’arif, Bandung, 1984
Harun Nasution Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987.
Harun Nasution Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1986
Hasybi Ash-shiddieqy Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam
Imam Muhammad Abu Zahroh Aliran Politik dan Aqidah Islam
W. Montgomery Watt Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam
spotindo.com/search/paham+kalam+asy+ariyah

PEMIKIRAN TEOLOGI KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Khawarij dan Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan khawarij dengan kekerasandan mengidentikan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji masalah ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Khawarij dan Mu’tazilah dalam makalah ini, yang pada intinya penulis ingin sedikit berbagi informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana kaumKhawarij dan Mu’tazilah itu?.

Berangkat dari latar belakang masalah diatas maka penulis akan merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij ?
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini agar memperoleh data tentang
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah

BAB II
PEMBAHASAN

A. KHAWARIJ
1. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Sebutan lain diberikan kepada mereka adalah haruriyah. Asal katanya harura, yaitu suatu desa yang terletak dekat di kuffah(irak). Ditempat tersebut mereka berkumpul setelah memisahkan diri degan Aliberanggotakan 12ribu orang dan memilih Abdullah bin Wahhab Ar-Rasyidi menjadi imam pengganti Ali bin Abi Thalib. NASUTION
2. Sejarah kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)

Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
3. teologi Khawarij

B. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
1. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
2. Teologi Mu’tazilah
1. konsep Tauhid
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian) . Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih.
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut:
“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering (yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan dalam (’umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam (yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’). Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi. Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak). Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun). Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (’ahat), tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan (mustahil dipikir dan diterka), Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu, Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera). Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim (Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah) selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab ‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’), mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak memiliki sedikitpun sifat lemah (’ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri dan beranak. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a) Tidak mengakui sifat-sifat Allah
b) Mengatakan al-Qur’an makhluk.
c) Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
d) Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
e) Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
2. Al-’Adl (Keadilan)
Secara etimologi, “al-’adl”merupakan bentuk mashdar dari ‘adala – ya’dilu yang berarti berbuat adil, bisa digunakan dengan makna perbuatan (baca: berbuat adil), bisa juga digunakan dengan makna pelaku (baca: orang yang adil).
Sedangkan dari sisi terminologi, jika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah SWT adil (innahu Ta’ala ‘adl) maka maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan-Nya baik (hasan), Dia tidak melakukan suatu yang buruk (qabih), dan Dia tidak pernah melalaikan kewajiban-Nya .
Konsep keadilan Tuhan versi Mu’tazilah masih berkaitan erat dengan konsep Tanzih mereka, yaitu bahwa sangat tidak sesuai sekali dengan konsep Tanzih jika Allah SWT menghukum manusia atas dosa yang tidak pernah diinginkannya, karena yang seperti adalah zalim, dan zalim merupakan sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Tuhan), dimana Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Konsep keadilan Tuhan ini juga berlandaskan pada konsep mereka tentang prinsip kebebasan (hurriyah), usaha (ikhtiyar), dan pengingkaran mereka terhadap prinsip paksaan (jabr), dengan arti kata semua ini berlandarkan pada konsep teologis tentang Qadar.
Abu Zahrah mengutip al-Mas’udi yang menjelaskan tentang konsep keadilan ini menurut versi Mu’tazilah :
“Keadilan Tuhan maksudnya adalah bahwa Allah SWT tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia (af’al al-’ibad), melainkan mereka bebas memilih untuk melaksanakan perintah-Nya atau melanggarnya dengan qudrah (kemampuan/potensi) yang telah diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT hanya memerintahkan sesuatu yang Dia ingini (sukai), dan hanya melarang sesuatu yang Dia benci. Dia menguasai atas setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya (wala kulla hasanah amara biha), dan Dia terbebas dari semua keburukan yang dilarang-Nya (bari’ min sayyi’ah naha ‘anha) . Dia tidak membebani mereka (manusia) dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, dan tidak menginginkan bagi mereka sesuatu yang tidak sanggup mereka lakukan. Dan siapapun tidak akan mampu menahan dan melepas (melakukan) sesuatu kecuali dengan kemampuan (qudrah) yang diberikan Allah padanya, Dia pemilik qudrah tersebut, bukan mereka, Dia bisa menghilangkannya jika Dia berkehendak. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memaksa seluruh makhluk untuk taat pada-Nya, dan memaksa mereka untuk tidak berbuat maksiat pada-Nya, akan tetapi Dia tidak melakukan hal itu, karena itu akan menghilangkan makna mihnah (ujian) dan balwa (musibah).”
Dari penjelasan tersebut tidak dikatakan bahwa Mu’tazilah lebih mendahulukan wahyu dari akal, yang ada justru akal “bisa/mampu” mengetahui baik dan buruk meskipun wahyu tidak diturunkan, dan ini khusus bagi perbuatan-perbuatan non-Ibadah, sedangkan perbuatan ibadah harus melalui pendengaran (perantaraan rasul dan wahyu). Dan kata “bisa” atau “mampu” bukan berarti Mu’tazilah mengingkari keterbatasan akal dan meninggalkan wahyu. Dr. Yahya Jaya membantah hal itu dalam bukunya Teologi Agama Islam Klasik dengan menyatakan bahwa sifat kerasionalan Mu’tazilah tetap terikat kepada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (nash qath’i), dan jika tidak ada al-Qur’an atau Hadits yang mengikat (qath’i), baru mereka bebas brfikir dalam masalah agama. Dengan kata lain mereka juga memerlukan wahyu, karena akal manusia terbatas untuk mengetahui mana yang sebenarnya baik dan buruk serta bagaimana caranya beribadat kepada Allah. Antara akal dan wahyu terdapat penyesuaian dan apa yang dibawa wahyu pasti benar sesuai pemikiran rasional. Fungsi wahyu adalah untuk memperkuat yang telah diketahui akal.
Sejalan dengan itu maka yang terjadi sebenarnya adalah Mu’tazilah bukannya mendahulukan akal dari wahyu melainkan memberikan porsi yang lebih banyak kepada akal dalam memahami teks-teks wahyu dan masalah-masalah agama.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi. Sehingga tidak ada pengampunan bagi seorang pelaku dosa besar kecuali taubat, sebagaimana tidak ada halangan bagi siapapun yang melakukan kebaikan untuk mendapatkan ganjaran baik.
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Seperti yang telah terdahulu, asas ini merupakan ide Washil bin ‘Atha’ ketika menanggapi masalah pelaku dosa besar, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak juga kafir melainkan fasik. Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh Abu Zahrah melalui kutipan dari al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya). Dan Mu’tazilah memandang orang fasik pelaku dosa besar semasa hidupnya tetap bisa disebut Muslim, tanpa bermaksud untuk memuliakan dan memujinya, karena mereka masih dianggap Ahlul Qiblah, dan masih bberpeluang bertaubat, paling kurang untuk membedakannya dengan orang Dzimmi.


BAB III
KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.


DAFTAR PUSTAKA

 Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
 Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
 http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0
 Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-Ashri ‘Arabi-Indunisi (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt.
 Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
 Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
 Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
 Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
 Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
 Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
 Jaya, Yahya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang: Angkasa Raya, 2000.
 Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
 Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
 Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993.
 Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.