Sikap tidak mendukung pluralisme dalam kehidupan beragama cenderung melahirkan teroris baru. Demikian ungkap Intelektual Muslim, Jalaluddin Rahmat, saat membahas buku berjudul “Dua Wajah Islam: Moderatisme Vs Fundamentalisme”, karya Stephen Sulaiman Schwartz terbitan The Wahid Institute. Buku itu memotret salah satu aliran Islam di Arab Saudi, Wahabi (Kompas, 3/11).
Jalaluddin mengakui, penganut Wahabi ditandai dengan melekatnya perasaan paling suci. Mereka menganggap kelompok mereka sebagai penganut tauhid murni. Dengan melekatnya perasaan paling suci, kaum Wahabi cenderung eksklusif dan antipluralisme. Mereka menganggap surga hanya miliknya. Sikap itu berdampak pada keengganan beradaptasi terhadap tradisi daerah setempat. Mereka hanya mengakui tradisi dari Arab Saudi, tempat asalnya.
Pernyataan Jalaluddin ini menunjukkan bahwa radikalisme dan terorisme merupakan buah dari corak teologi. Sebagaimana diketahui bahwa teologi yang berkembang dalam sejarah Islam sebenarnya cukup banyak. Di antaranya yaitu Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Maturidiyah, Asy’ariyah, dll. Masing-masing teologi mengembangkan corak penafsiran akidah yang khas. Namun secara garis besar semua aliran teologi itu dapat dipetakan dalam kelompok liberal, progresif, moderat yang cenderung inklusif, dan puritan, fundamentalis yang cenderung eksklusif.
Garis Keras
Dalam awal sejarah Islam, penganut teologi Khawarij disebut oleh para sejarawan sebagai kelompok yang merepresentasikan “garis keras”. Mereka cenderung tidak toleran terhadap kelompok lain di luar teologinya. Bahkan mereka melancarkan aksi pembunuhan terhadap kelompok dan tokoh yang dinilai sudah keluar dari ajaran Islam (kafir). Sayidina Ali ra. merupakan salah satu korban pembunuhan dari kelompok ini.
Pada dasarnya puritanisme dan fundamentalisme yang dianut Khawarij adalah ekspresi keimanan yang paling dalam. Jadi merupakan sesuatu yang tulus dari hati mereka. Namun ekspresi keimanan itu malah menimbulkan kerusakan terhadap lingkungannya. Hal ini disebabkan oleh corak teologi yang tidak memberi ruang adanya perbedaan interpretasi. Selain itu juga terlalu rigid dalam melihat persoalan.
Dengan demikian apa yang dikatakan Jalaluddin di atas, memiliki landasan historis. Jika saat ini juga ada kelompok Islam yang corak teologinya puritan dan fundamentalis, maka memiliki kecenderungan menjadi radikal dan menggunakan teror dalam ekspresi keagamaannya.
Sementara itu KH Abdurahman Wahid, pendiri The Wahid Institute, justru mempertanyakan alasan kaum Wahabi memilih “garis keras” yang kurang dimunculkan dalam buku itu. Kita harus obyektif. Pahami dulu latar belakang sejarah mereka dan hubungan kerjasama mereka dengan dinasti Saudi.
Pernyataan Gus Dur bisa dikategorikan sebagai gugatan terhadap simplikasi penilaian bahwa semua kelompok yang beraliran Wahabi sebagai negatif dan menyukai kekerasan. Obyektivitas, sebagaimana ditegaskan Gus Dur, memang menjadi sesuatu yang penting dalam penelitian sosial. Peran faktor tertentu yang menyebabkan sebuah kecenderungan tertentu dalam suatu masyarakat, belum tentu berlaku sama dalam masyarakat lain. Obyektivitas dimaksudkan sebagai upaya menyingkirkan prasangka dalam penelitian sosial. Bukan tidak mungkin bahwa ada faktor lain yang memengaruhi kekerasan dan radikalisme dalam kasus gerakan Wahabi di Arab Saudi.
Perlu Objektivitas
Menurut Bryan Fay, seorang pakar Filsafat Ilmu Sosial dari Conectitut University America, obyektivitas adalah kebenaran yang tidak hanya ada dalam pikiran. Kebenaran yang hanya dalam pikiran merupakan distorsi terhadap realitas. Hal ini merupakan cermin dari ideologi. Karena itu obyektivitas merupakan sesuatu yang penting dalam menganalisis kasus Wahabi.
Sedangkan menurut Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina, Ihsan Ali Fauzi, buku Stephen memberikan potret lain dari Arab Saudi yang selama ini hanya dikenal sebagai tempat menunaikan ibadah Haji dan penghasil minyak. Diperkirakan akan banyak orang Indonesia yang terkejut dengan isi buku ini karena terkait penggambaran Arab Saudi. Survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai negara asing favorit orang Indonesia, Arab Saudi menempati peringkat pertama dengan pemilih sebanyak 92 persen.
Sebenarnya hasil survei LSI tidak terlalu mengejutkan. Bagi sebagian besar umat Islam di dunia, Arab Saudi, masih menjadi kiblat nilai-nilai kebaikan. Jadi Indonesia merupakan cermin dari perasaan hampir semua negara-negara Muslim di dunia. Selain itu hubungan tokoh-tokoh Islam Indonesia dengan Arab Saudi, terutama Mekah dan Madinah, sudah terjalin sangat lama, kira-kira sejak abad ke-16 (lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara abad ke-17 dan 18). Relasi itu menempatkan Indonesia sebagai “murid” dan Arab Saudi sebagai “guru”.
Dalam hampir semua aspek kebudayaan, masyarakat Islam Indonesia memandang kebudayaan Arab Saudi sebagai sepenuhnya Islam yang ideal. Dengan begitu, amat boleh jadi, penggambaran yang bernuansa negatif atau kritis terhadap Arab Saudi akan mengejutkan sebagian masyarakat Islam Indonesia.(CMM/M. Hilaly Basya)
Sumber : http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=4996_0_3_0_C
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar