Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Jumat, 25 Maret 2011

ALIRAN AL-ASY’ARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH

BAB I
A. SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN AL-ASY’ARIYAH
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat pada tahun 935 Masehi. (harun nasution)Beliau masih keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan Mu’awiyah.
Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-mu’tazilahannya, ia gencar menyebar luaskan paham mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya.
Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.(harun nasution, teologi islam).
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya.
Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Disini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran ? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah.
B. TOKOH-TOKOH DAN AJARAN-AJARANNYA
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.


2. Abd al-Malik al-Juwaini

Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi. . Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
C. SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN AL-MATURIDIYAH
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem teologinya.
Pendiri dari aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi yang lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal pada tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-pahamnya mempunyai banyak persamaan dengan paham-paham yang diajarkan oleh Abu Hanifah. Aliran teologi ini dikenal dengan nama Al-Maturidiyah, yang sesuai dengan nama pendirinya yaitu Al-Maturidi.
D. TOKOH-TOKOH DAN AJARAN-AJARANNYA
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.
Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.


BAB II

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AL-ASY’ARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH

A. PERSAMAANNYA
1. Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
2. Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
3. Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
4. Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an pada surat al-Qiyamah : 23 :
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.”
5. Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari an Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.”(Ittihafus Sadatil Muttaqin 2 : 6)
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.”(Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah hal.3)
B. PERBEDAANNYA
1. Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan Al-Maturidi menganut paham Jabariyah.
2. Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan.
3. Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
 
REFERENSI

Abuy Sodikin & Barduzaman Metodologi Studi Islam, Tunas Nusantara, Bandung, 2000

Ahmad Hanafi Ilmu Kalam
Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok Metodologi Studi Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999
Hamzah Ya’kub Filsafat Ketuhanan, Al-Ma’arif, Bandung, 1984
Harun Nasution Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987.
Harun Nasution Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1986
Hasybi Ash-shiddieqy Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam
Imam Muhammad Abu Zahroh Aliran Politik dan Aqidah Islam
W. Montgomery Watt Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam
spotindo.com/search/paham+kalam+asy+ariyah

PEMIKIRAN TEOLOGI KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Khawarij dan Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan khawarij dengan kekerasandan mengidentikan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji masalah ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Khawarij dan Mu’tazilah dalam makalah ini, yang pada intinya penulis ingin sedikit berbagi informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana kaumKhawarij dan Mu’tazilah itu?.

Berangkat dari latar belakang masalah diatas maka penulis akan merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij ?
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini agar memperoleh data tentang
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah

BAB II
PEMBAHASAN

A. KHAWARIJ
1. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Sebutan lain diberikan kepada mereka adalah haruriyah. Asal katanya harura, yaitu suatu desa yang terletak dekat di kuffah(irak). Ditempat tersebut mereka berkumpul setelah memisahkan diri degan Aliberanggotakan 12ribu orang dan memilih Abdullah bin Wahhab Ar-Rasyidi menjadi imam pengganti Ali bin Abi Thalib. NASUTION
2. Sejarah kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)

Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
3. teologi Khawarij

B. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
1. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
2. Teologi Mu’tazilah
1. konsep Tauhid
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian) . Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih.
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut:
“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering (yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan dalam (’umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam (yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’). Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi. Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak). Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun). Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (’ahat), tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan (mustahil dipikir dan diterka), Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu, Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera). Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim (Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah) selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab ‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’), mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak memiliki sedikitpun sifat lemah (’ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri dan beranak. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a) Tidak mengakui sifat-sifat Allah
b) Mengatakan al-Qur’an makhluk.
c) Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
d) Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
e) Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
2. Al-’Adl (Keadilan)
Secara etimologi, “al-’adl”merupakan bentuk mashdar dari ‘adala – ya’dilu yang berarti berbuat adil, bisa digunakan dengan makna perbuatan (baca: berbuat adil), bisa juga digunakan dengan makna pelaku (baca: orang yang adil).
Sedangkan dari sisi terminologi, jika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah SWT adil (innahu Ta’ala ‘adl) maka maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan-Nya baik (hasan), Dia tidak melakukan suatu yang buruk (qabih), dan Dia tidak pernah melalaikan kewajiban-Nya .
Konsep keadilan Tuhan versi Mu’tazilah masih berkaitan erat dengan konsep Tanzih mereka, yaitu bahwa sangat tidak sesuai sekali dengan konsep Tanzih jika Allah SWT menghukum manusia atas dosa yang tidak pernah diinginkannya, karena yang seperti adalah zalim, dan zalim merupakan sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Tuhan), dimana Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Konsep keadilan Tuhan ini juga berlandaskan pada konsep mereka tentang prinsip kebebasan (hurriyah), usaha (ikhtiyar), dan pengingkaran mereka terhadap prinsip paksaan (jabr), dengan arti kata semua ini berlandarkan pada konsep teologis tentang Qadar.
Abu Zahrah mengutip al-Mas’udi yang menjelaskan tentang konsep keadilan ini menurut versi Mu’tazilah :
“Keadilan Tuhan maksudnya adalah bahwa Allah SWT tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia (af’al al-’ibad), melainkan mereka bebas memilih untuk melaksanakan perintah-Nya atau melanggarnya dengan qudrah (kemampuan/potensi) yang telah diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT hanya memerintahkan sesuatu yang Dia ingini (sukai), dan hanya melarang sesuatu yang Dia benci. Dia menguasai atas setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya (wala kulla hasanah amara biha), dan Dia terbebas dari semua keburukan yang dilarang-Nya (bari’ min sayyi’ah naha ‘anha) . Dia tidak membebani mereka (manusia) dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, dan tidak menginginkan bagi mereka sesuatu yang tidak sanggup mereka lakukan. Dan siapapun tidak akan mampu menahan dan melepas (melakukan) sesuatu kecuali dengan kemampuan (qudrah) yang diberikan Allah padanya, Dia pemilik qudrah tersebut, bukan mereka, Dia bisa menghilangkannya jika Dia berkehendak. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memaksa seluruh makhluk untuk taat pada-Nya, dan memaksa mereka untuk tidak berbuat maksiat pada-Nya, akan tetapi Dia tidak melakukan hal itu, karena itu akan menghilangkan makna mihnah (ujian) dan balwa (musibah).”
Dari penjelasan tersebut tidak dikatakan bahwa Mu’tazilah lebih mendahulukan wahyu dari akal, yang ada justru akal “bisa/mampu” mengetahui baik dan buruk meskipun wahyu tidak diturunkan, dan ini khusus bagi perbuatan-perbuatan non-Ibadah, sedangkan perbuatan ibadah harus melalui pendengaran (perantaraan rasul dan wahyu). Dan kata “bisa” atau “mampu” bukan berarti Mu’tazilah mengingkari keterbatasan akal dan meninggalkan wahyu. Dr. Yahya Jaya membantah hal itu dalam bukunya Teologi Agama Islam Klasik dengan menyatakan bahwa sifat kerasionalan Mu’tazilah tetap terikat kepada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (nash qath’i), dan jika tidak ada al-Qur’an atau Hadits yang mengikat (qath’i), baru mereka bebas brfikir dalam masalah agama. Dengan kata lain mereka juga memerlukan wahyu, karena akal manusia terbatas untuk mengetahui mana yang sebenarnya baik dan buruk serta bagaimana caranya beribadat kepada Allah. Antara akal dan wahyu terdapat penyesuaian dan apa yang dibawa wahyu pasti benar sesuai pemikiran rasional. Fungsi wahyu adalah untuk memperkuat yang telah diketahui akal.
Sejalan dengan itu maka yang terjadi sebenarnya adalah Mu’tazilah bukannya mendahulukan akal dari wahyu melainkan memberikan porsi yang lebih banyak kepada akal dalam memahami teks-teks wahyu dan masalah-masalah agama.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi. Sehingga tidak ada pengampunan bagi seorang pelaku dosa besar kecuali taubat, sebagaimana tidak ada halangan bagi siapapun yang melakukan kebaikan untuk mendapatkan ganjaran baik.
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Seperti yang telah terdahulu, asas ini merupakan ide Washil bin ‘Atha’ ketika menanggapi masalah pelaku dosa besar, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak juga kafir melainkan fasik. Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh Abu Zahrah melalui kutipan dari al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya). Dan Mu’tazilah memandang orang fasik pelaku dosa besar semasa hidupnya tetap bisa disebut Muslim, tanpa bermaksud untuk memuliakan dan memujinya, karena mereka masih dianggap Ahlul Qiblah, dan masih bberpeluang bertaubat, paling kurang untuk membedakannya dengan orang Dzimmi.


BAB III
KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.


DAFTAR PUSTAKA

 Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
 Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
 http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0
 Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-Ashri ‘Arabi-Indunisi (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt.
 Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
 Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
 Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
 Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
 Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
 Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
 Jaya, Yahya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang: Angkasa Raya, 2000.
 Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
 Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
 Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993.
 Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.

AL-GOZALI DAN MANTIK

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam menghadapi kehuidupan yang semakin maju dan peradaban yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi maka benar yang di gambarkan rasul tentang zaman yan yang akan dating , disadaria atau tidak kita seperti dijajah oleh bangsa barat yang mempergunakkan cara yang tidak ada batasannya untuk menghancurkan islam ,oleh karenanya kita harus mjemikirkkan dan mulai berbenah . sudah saatnya kita Menuju keharusan ijtihad guna mengiringi gerak zaman memaksa kita untuk mengkaji semua perangkat yang mendukung sahnya sebuah ijtihad. Sebab ijtihad, yang disebut ahli ushul sebagai pengerahan segenap upaya (bazlul majhud) untuk menyimpulkan hukum syara’ dari sumber-sumber aslinya, bukan perkara mudah. Paling tidak, upaya ini memaksa kita untuk mengkaji ulang furu’ dan ushul fiqih kita, bahkan pola pikir yang mendasari produk pemikiran ini. Salah satunya adalah pembahasan tentang mantik sebagai aturan-aturan berpikir yang, diakui atau tidak, berpengaruh sangat besar dalam proses penyimpulan hukum. Berikut ini diskusi antar generasi yang terpisahkan jarak ratusan tahun, dengan Al Ghazali dan Ibn Taymiah sebagai aktor pelakunya.
Adapun mengenaikeadaan ilmu mantik didalam al-Qur’an adalah kifayah, dan dua bahasan pokok yang berkenaan dengan definisi dan sylogisme. Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis ini (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258).


BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat dan Sejarahnya Mantik
Salah satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk mengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya dengan benda-benda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal paling abstrak (basith) yang mewadahi semua wujud. Ketika ia melihat manusia, misalnya, imajinasinya mengabstraksi benda itu menjadi sebuah spiecies (nau’) yang menaungi semua manusia yang lain. Ia kemudian membandingkan konsep ini dengan konsep binatang, lalu mengabstraksinya menjadi sebuah genus (jenis) yang menaungi keduanya. Proses abstraksi ini berlanjut ketika ia membandingkannya dengan konsep tumbuhan, demikian seterusnya hingga mencapai genus tertinggi yang disebut substansi (jauhar).
Pada saat itu, akal berhenti mengabstraksi. Ahli mantik berkata bahwa pengetahuanyang dicapai manusia hanya dua macam, yakni tashawwur (pengetahuan konseptual), tanpa menetapkan hukum apa-apa atasnya, dan tashdiq (pengetahuan relasional) antara dua hal dengan menetapkan penilaian benar atau salah. Atas dasar ini, aktifitas berpikir manusia hanyalah menyusun satu persatu konsepsi universal (kulliyyat) di otaknya untuk menghasilkan konsepsi universal baru yang sesuai dengan realitas, atau menilai sesuatu dengan sesuatu lainnya. Aktifitas berpikir ini bisa keliru dan bisa juga benar. Maka dibutuhkan sebuah aturan-aturan berpikir tertentu untuk menjaga akal dari kekeliruan berpikir. Dan kumpulan aturan-aturan berpikir itu disebut mantik (logika).Sebenarnya, Aristoteles bukan orang pertama yang menyusun aturan-aturan berpikir ini, sebab sebelumnya Socrates dan Plato pernah berbicara tentang hal ini. Namun karena Aristoteles adalah orang pertama yang mengumpulkan dan menyusunnya, menetapkannya sebagai kunci ilmu pengetahuan serta menulisnya dalam sebuah karya, ia digelari sebagai “guru pertama”. Organon, bukunya tentang mantik, terdiri dari delapan bagian: Categoria (membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang proposisi), Sylogisme (tentang qiyas), Demonstrasi (tentang qiyas yang menyimpulkan keyakinan), Dialektika (ilmu debat), Sofistika (qiyas yang menyesatkan), Retorika (seni agitasi massa) dan Poetica (seni menyusun kata-kata puitis).Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al Makmun (w. 218 H), buku-buku ini menarik perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang ilmu ini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan ilmu ini dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin bin Al Khatib lalu Afdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh sebelumnya dan mengalahkan metode mereka.
B. Ghazali dan Mantik
a. pemikiran Al-Gozalio terhadap mantik
Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan perdebatan sengit di kalangan para ulama, terutama ahli kalam. Mereka sangat anti kepada mantik dan melarang manusia untuk mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa antipati ini lahir karena persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik yang melahirkan pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima kalam maka tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang bertugas menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan kebaharuan alam semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani menyatakan bahwa prinsip-prinsip ilmu kalam adalah bagian dari akidah. Menyerangnya sama dengan berusaha menghancurkan sendi-sendi akidah islamiah.
Kemudian datang Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H) yang mendamaikan keduanya. Kharisma dan argumentasinya berhasil mengakhiri perdebatan ini dan membuat ilmu mantik diterima di kalangan sunni. Meski terkenal sebagai musuh besar filsafat, bahkan berhasil membuatnya pingsan dengan Tahafut ul Falasifah-nya, Al Ghazali sangat menyayang anak kandung filsafat ini. Ia menulis beberapa karya tentangnya, antara lain Mi’yar ul-‘Ilm, Al Mankhul, Mihak un-Nazhar, beberapa lembar di mukaddimah Al Mustashfa dan secara tersirat dalam dialog dengan seorang penganut Syiah Ismailiah di Al Qisthas ul-Mustaqim. Berikut sedikit ringkasan tentang mantik ala Al Ghazali yang bisa penulis tampilkan pada kesempatan kali ini.
Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan ilmu ‘Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al Farabi, mantik bagi akal ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera. Atau ibarat penggaris untuk mengukur panjang dan lebar sesuatuyang indera manusia sering keliru dalam memastikannya.Al Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah (organon) seluruh ilmu –bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pengetahuan manusia terbagi dua, yaitu tashawur dan tashdiq. Pengetahuan tashawur terbagi dua: pertama, pengetahuan yang telah ada di otak manusia sejak awal (a priori) sehingga pengetahuan tentangnya tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Contoh, pengetahuan tentang makna ‘ada’, ‘banyak’ dan beberapa benda-benda inderawi lainnya. Kedua, pengetahuan tentang konsep-konsep samar yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk yang kedua ini diperlukan sebuah definisi (had/ta’rif) yang memperjelas makna kata tersebut. Sementara itu, pengetahuan tashdiq juga terbagi menjadi dua: relasi aksiomatik (musallamah) yang kebenarannya tidak perlu pembuktian dan relasi hipotetik (nazhariah) yang harus dibuktikan kebenarannya. Alat pembuktian itu disebut demonstrasi (sylogisme). Dengan demikian, pokok bahasan mantik tersimpul pada empat komponen, yaitu pembahasan tentang tashawwur, had (definisi), tashdiq dan sylogisme. Di atas kita telah membahas tentang makna tashawwur dan tashdiq, maka pembahasan berikutnya adalah tentang had dan sylogisme
Ahli mantik sepakat bahwa definisi menghasilkan pengetahuan hakikat sesuatu dan tanpanya pengetahuan tashawwur tidak bisa didapatkan. Untuk membuat sebuah definisi sempurna, harus diperhatikan beberapa aturan (qanun) penting berikut ini. Aturan pertama, definisi adalah jawaban untuk sebuah pertanyaan. Karena bentuk pertanyaan yang dilontarkan bermacam-macam, maka jawabannya pun bermacam-macam pula, sehingga mempengaruhi bentuk definisi. Memahami bentuk pertanyaan dengan demikian menentukan kualitas sebuah jawaban, maka pembahasan tentang bentuk-bentuk pertanyaan harus dikuasai terlebih dahulu. Pertanyaan ‘apa’ menuntut tiga hal: penjelasan kata (apa itu reformasi? Reformasi adalah pembentukan kembali), penjelasan tentang uraian sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain dengan ciri-ciri lazimnya (apa itu khamr? Khamr adalah benda cair yang berbusa), dan penjelasan hakikat serta essensi sesuatu (apa itu khamr? Khamr adalah minuman memabukkan yang dibuat dari perasan anggur). Definisi pertama disebut definisi lafzhi, sebab hanya menjelaskan makna kata. Kedua disebut rasmi, sebab hanya menjelaskan ciri eksternal (rasm) sesuatu, bukan hakikatnya. Dan yang ketiga disebut definisi hakiki, sebab ia menjelaskan hakikat dan essensi sesuatu dengan mendalam. Pertanyaan ‘mengapa’ menuntut pembuktian dengan sylogisme yang akan dijelaskan nanti. Dan pertanyaan ‘yang mana’ meminta pemilahan antara dua hal yang hampir serupa. Pertanyaan dengan ‘bagaimana’, ‘di mana’, ‘kapan’ dan bentuk-bentuk lain termasuk dalam penjelasan dari pertanyaan ‘apakah’ yakni menuntut penjelasan tentang sifat sesuatu.
Aturan kedua, seorang pembuat definisi harus bisa membedakan antara sifat essensial (dzati), aksidental (‘aridh) dan lazim dari sesuatu. Sifat essensial (dzati) adalah sifat yang masuk dalam essensi dan hakikat sesuatu, tidak mungkin sesuatu itu dipahami tanpa menyertakan sifat ini. Contoh sifat essensial adalah makna ‘warna’ yang dipahami dari kata ‘hitam’, dan makna ‘benda’ dari kata ‘pohon’, misalnya. Sifat lazim adalah sifat yang selalu menyertai benda namun pemahaman hakikat benda itu tidak tergantung padanya. Seperti bayangan yang menyertai fostur manusia ketika matahari terbit. Memahami hakikat manusia bisa dilakukan tanpa menyertai kata bayangan sedikitpun. Sifat aksidental (‘aridh) adalah sifat yang harus menyertai benda namun bisa hilang cepat atau lambat.
Untuk menyusun sebuah definisi yang logis, diperlukan sifat essensial untuk menjelaskan hakikat sesuatu. Sifat essensial terbagi menjadi umum, selanjutnya disebut genus (jins), dan khusus, selanjutnya disebut spesies (nau’). Makhluk adalah genus untuk kata manusia, binatang dan tumbuhan. Selanjutnya, manusia adalah genus untuk kata Usman, Fatimah dan lain-lain.
Aturan ketiga, dalam membuat definisi logis, pertama kali yang harus Anda lakukan adalah memasukkan semua komponen definisi, yakni genus dan differensia (fashal). Contoh, manusia adalah hewan (genus) yang berpikir (differensia). Kedua, Anda harus inventaris sifat-sifat essensial dari obyek yang hendak didefinisikan. Ketiga, jika Anda menemukan genus yang dekat, jangan pilih yang lebih jauh. Contoh, genus terdekat untuk khamar adalah minuman, maka jangan pilih kata benda cair untuk mendefinisikannya. Keempat, hindari sebisa mungkin kata-kata samar dan kiasan.
Singkatnya, sebuah definisi yang baik harus terbuka-tertutup (muththarid wa mun’akis), yakni terbuka untuk semua entitas dari sesuatu yang hendak didefinisikan (kulli fardin min afrad al mu’arraf) dan tertutup untuk selain entitas-entitas itu.
b. Pandangan Al-Gozali terhadap hukumnya mempelajari ilmu mantik.
Penegasan Al Ghazali yang menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik fardhu kifayah menyulut kritikan dari berbagai ulama hingga berabad-abad kemudian. Abu Bakar Ibn Al ‘Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, “Al Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya kembali, namun ia tidak bisa.” Abu Amr Ibn Shalah menolak pendapat Al Ghazali dan mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa harus belajar mantik. Berdiri dalam barisan penolak ini, Ibn Taymiah berkata, “Pendapat Abu Hamid (Al Ghazali) ini salah besar, baik dilihat dari segi rasional maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa manusia-manusia cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan pengetahuan mereka tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa agama tidak pernah mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.”
Ibn Taymiah juga menyalahkan penafsiran kata al mizan dalam Al Qur’an dengan mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah telah menurunkan Neraca Qur’ani jauh sebelum Aristoteles menemukan mantik. Kedua, umat Islam telah menggunakan Neraca Qur’ani ini sebelum buku-buku mantik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga sekarang, tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik dan menulis bantahan-bantahan terhadapnya. Neraca yang Allah turunkan bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taymiah, adalah neraca keseimbangan (mizan ‘adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia yang menyamakan dua hal yang mirip satu sama lain (mutamatsilain) dan memisahkan dua hal yang berbeda (mukhtalifain). Sebagai contoh, firman Allah, “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga padahal kalian belum menemui (kesulitan) seperti umat sebelum kalian?” (Qs Al Baqarah [2]: 214) dalam menyamakan antara generasi saat ini dengan generasi sebelumnya. Dan Allah berfirman, “Apakah (kalian mengira) bahwa Kami akan memperlakukan orang-orang yang beriman seperti para durjana?” (Qs Al Qalam [68]: 35) dalam membedakan antara kedua golongan yang berbeda ini.
C. ibn Taymiah Dan Mantik
Ketika sekilas kita mengamati buku “Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq” karya Dr Said Ramadhan Al Buthi, saya menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam pengantar cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, “Apakah dalam menguraikan pembahasan akidah islamiah dalam buku ini kami berpedoman kepada filsafat Yunani dan logika formal (mantik shuri)?…Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami hanya menyajikan kepada pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui akurasinya sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda.”
Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan kelebihan mantik, Dr Buthi berkata, “Kami tidak berkata bahwa filsafat Yunani dan logika Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran darinya. Di dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, daripada menolaknya sama sekali.” Ini pendirian Ibn Taymiah yang mengakui adanya hal-hal positif dalam mantik, karena itu ia tidak membantah demonstrasi yang didukung premis-premis meyakinkan, meski negatifnya lebih banyak daripada positifnya.
Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang membandingkan metode ilmiah pemikir muslim dan pemikir Barat, Dr Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang digunakan kaum muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh Al Qur’an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas ‘illat. Dan keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn Taymiah.
D. Mantik di Dalam Al Qur’an?
kifayah, dan dua bahasan pokok yang berkenaan dengan definisi dan sylogisme. Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis ini (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian merangkainya dalam bentuk burhan, ia berkata:Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)Allah mampu menerbitkan matahari (premis II)
Kesimpulan: Allah tuhanAl Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan neraca besar. Berikutnya adalah neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), “Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.” (Qs Al An’am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut:
Bulan tenggelamTuhan tidak mungkin tenggelamKesimpulan: Bulan bukan tuhanSkema terakhir dari neraca ta’adul adalah neraca kecil, yaitu terdapat dalam firman Allah, “Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah, ‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?’” Uraian logisnya sebagai berikut:
Musa As manusiaMusa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu
Neraca talazum terdapat dalam ayat, “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur.” (Qs Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya:
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur Nyatanya dunia tidak hancur.
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lainTerakhir, neraca ta’anud terdapat dalam ayat, “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (Qs Saba [34]: 24). Uraiannya adalah:Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan,Kami tidak dalam kesesatanya. Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan-Perhatikan bagaimana Al Ghazali menempatkan mantik bukan sebagai warisan tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian inheren dari Al Qur’an. Maka jangan heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan barangsiapa tidak menguasai ilmu ini pengetahuannya patut diragukan.Ibn Taymiah dan Kritik MantikAbul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah Ibn Taymiah lahir di Haran pada Rabi’ ul Awal 661 H. Pada tahun 667 H, ayahnya membawanya ke Damaskus ketika bangsa Tartar menyerbu Haran. Di kota ini, ia mempelajari hadis, fiqih, ushul, tafsir bahkan juga fiksafat dan logika. Allah menganugerahinya banyak buku, kecerdasan dalam memahami sesuatu serta hafalan kuat sehingga tidak pernah melupakan sesuatu yang pernah dihafalnya. Selain itu, ia juga seorang zuhud dan ikhlas dalam memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran. Persengketaan yang terjadi antara dirinya dan para pendengki membuahkan penahanan dirinya di benteng (qal’ah) Damaskus, dekat makam Abu Darda. Setelah beberapa hari menderita sakit dipengasingannya, pada tahun 728 H beliau meninggal dunia lalu dimakamkan di pekuburan Shufiah dengan diiringi ribuanmanusia.
Ibn Taymiah terkenal sebagai ulama yang sangat keras mempertahankan sunnah dan menentang bid’ah. Termasuk dalam hal ini adalah penentangannya terhadap mantik sebagai produk pemikiran Yunani yang bertentangan dengan tradisi para salaf saleh. Buku-bukunya tentang hal ini antara lain adalah Naqdh ul-Mantiq, Ar-Rad ‘ala Manthiqiyyin dan Nashihat Ahl il-Iman fir Radd ‘ala Mantiq il-Yunan. Dalam tulisan kali ini, saya akan memfokuskan pembahasan kritik mantik Ibn Taymiah kepada satu pengantar, yaitu pernyataan bahwa hukum mempelajari mantik adalah fardhu
BAB III
KESIMPULAN
Mantik alah satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk mengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya dengan benda-benda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal pali
abstrak (basith) yang mewadahi semua wujud.
Di dalam tokoh islam ada dua orang kontradiktif dalam memandangnilmu mantik yaitu antara Al-Gozali dengan ibnu Taimiyah.
Adapun mengenaikeadaan ilmu mantik didalam al-Qur’an adalah kifayah, dan dua bahasan pokok yang berkenaan dengan definisi dan sylogisme. Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis ini (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian merangkainya dalam bentuk burhan, ia berkata:Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)Allah mampu menerbitkan matahari (premisII), kesimpulan: Allah tuhanAl Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan neraca besar. Berikutnya adalah neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), “Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.” (Qs Al An’am [6]: 7)


DAFTAR PUSTAKA
 . H.M.Joesoef , sou'yb Logika kaidah berpikir secara tepat1997. PT Al.Husna Zikra. :Jakarta
 Sambas ,Syukriadi .Mantik kaidah berpikir islami.. 1997PT Rosda
o Karya.Bandung.
 Bakry, Hasbullah .Sistematik Filsafat. ...1981. Widjaya Pustaka: Jakarta
 Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis fi al-Iqtishad al-Islamiy min Ushulihi al-Fiqhiyyah,
 (Beirut: Dar an-Nafes, 2000), Cet. ke-4.

KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-KINDI DAN AL-GOZALI

BAB I
PEMBAHASAN


A. Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, yang berenang tetaplah berwenang dan yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa.
Berpijak dari realitas yang ada, pembahasan ini akan mencoba terlebih dahulu menganalisis konsep-konsep yang dikembangkan oleh Dua tokoh Pendidikan Islam kemudian merekonstruksi dan menemukan mazhab-mazhab yang dianut oleh sang tokoh dan implementasinya dalam pemikiran pendidikan islam. Dua tokoh pendidikan islam yang bisa dianalisis pemikirannya adalah Al-Kindi dan Al-Ghazali.
Sesungguhnya tidak mudah untuk menggeneralisir pemikiran pendidikan islam ke dalam sebuah atau beberapa mazhab karena memang umumnya pemikir (yang dimasukkan sebagai tokoh) pendidikan islam yang nota bene filosof itu tidak secara khusus membahas mengenai pendidikan islam, tetapi lebih sebagai pemikiran filosofis mengenai komponen-komponen yang kita kenal sekarang sebagai komponen pendidikan, misalnya tujuan si terdidik ( pandangan mengenai manusia), pendidik, materi, metode, dan alat pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. AL-KINDI
1. Riwayat Hidup Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal sebagai filosof muslim pertama keturunan arab, nama lengkapnya adalah abu yusuf ya`qup ibn ishaq ibn shabbah ibn imran ibn ismail ibn muhammad ibn al-asy`ats ibn qais al-kindi. Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang dikalangan masyarakat arab dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz, al-asy`ats termasuk salah seorang sahabat nabi, yang meriwayatkan hadist bersama saad bin abi waqqas. Ikut perang siffin dibawah pimpinan ali ibn abi tholib ia memegang panji kabilah kindah.
Ia lahir di kuffah sekitar 185 H (801 M ) atau penghujung abad ke 8 M dan awal abad ke 9 M. ayahnya adalah ishaq ibn al-shabbah bekerja sebagai gubernur daulah abbasiah,pada masa pemerintahan al-mahdi ( 775 – 785 M ) dean Harun Ar-Rasiyd (786 -809 M ). Walaupun orang tuanya meninggal pada usia mudanya namun kehidupannya tergolong lumayan, namun ia tidak sombong dan manja ia lebih senang belajar seperti halnya al-quran,al-hadis,berhitung dan yang lainnya baik di Basrah maupun di Baghdad.
Kuffah dan basrah, pada abad ke 2 dan ke 3 H ( 8 dan 9 M ) merupakan dua pusat kebudayaan islam yang maju. Kuffah lebih cenderung kepada studi – studi aqliah; dan dalam lingkungan iktelektual inilah al-kindi melewatkan masa kecilnya. Dia menghafal al-quran, bahasa arab, kesusastraan, dan ilmu hitung, fiqh dan qalam.tetapi ia lebih tertarik kepada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang pada keduanya ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya. Ia seorang yang sangat cerdas,telah banyak menterjemahkan buuku filsafat, menjelaskan berbagai masalah,menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Hal ini karena ia banyak menguasai ilmu yang berkembang pada waktu di Kuffah dan Baghdad. Seperti kedokteran, filsafat, semantik, giometri, al-jabar, ilmu falq, astronomi, bahkan ia berkemampuan mengubah lagu. Jadi, tidak heran kalau al-kindi seorang ahli dari berbagai ilmu pengetahuan. Karena ia hidup pada puncak kejayaan islam pada daulah abbbasiah ( al-amin, 809 – 813 M ; al-Ma`mum, 813 – 833 M ).kemashuran al-kindi luar biasa sehingga khalifah al-Mu`tashim mengangkatnya sebagai guru pribadi putranya ahmad, yang kepadanya ia persembahkan karya – karya pentingnya. Sehingga telah menghiasi kerajaan al-Mu`tashim.
Tak lama dikuffah al-Kindi berpindah ke Bagdad, yang kala itu menjadi ibu kota kekholifaan Bani Abas dan pusat keilmuan. Disitulah al-Kindi mendapat sokongan dari tiga kholifah Bani Abbas, yakni al-Makmun,al-Mu’tasin, dan Al-Watsiq. Ketiga Kholifah itu mendukung total kelangsungan belajar mengajar serta kegiatan ilmiah, silosofis, dan kesustraan pada masa itu. Mereka ini pada umumnya lebih condong kepada rasionalisme teologis Mu’tazilah. Namun ketika Al-Mutawwakil menjabat Kholifah pada tahun 874, Al-Kindi bernasib buruk seperti para filosof dan teologi lainnya. Setelah limah tahun melewati masa sulit pada pemerintahan Al-Mutawwakil Al-Kindi wafat sekitar tahun 866.
2. Konsep Pemikiran Al-Kindi
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
3. Filsafat Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
4. Hubungan Antara Filsafat Dan Agama
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa salah satu fungsi utama filasafat adalah mencari kebenaran dengan berdasarkan nalar atau akal manusia, sedangkan agama adalah sebuah kebenaran yang berdasarkan wahyu Tuhan. Pertemuan antara keduanya sangatlah rumit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, al-Kindi melakukan pendekatan terhadap dua subjek tersebut—yakni nalar dan wahyu—dengan dua tingkatan. Pertama, didasarkan atas kesamaan tujuan antara filsafat dan agama dan yang kedua, secara epistemologis.
Dalam tingkatan pertama, sebelum ia membentangkan pandangannya, lepas dari adanya kesamaan tujuan-tujuan antara agama dan filsafat, al-Kindi mempertahankan perlunya filsafat dan dapat disesuaikannya dengan agama. Uraian George N. Atiyeh, di dalam bukunya ”Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim,” menampakkan kepiawaian al-Kindi dalam menghadapi serangan orang-orang yang fanatik dengan agama dan penentang kegiatan filosofis macam apapun juga, ia menyatakan:“Filsafat adalah suatu kebutuhan, bukan suatu kemewahan. Ia mengatakan kepada orang-orang yang fanatik tersebut, bahwa mereka harus menyatakan, berfilsafat itu perlu atau tidak perlu. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen untuk membuktikannya. Padahal dengan memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen tersebut, mereka pada dasarnya telah berfilsafat. Oleh karena itu filsafat adalah perlu dalam kedua hal itu.”
Pembelaan yang dikemukakan al-Kindi tersebut mempunyai arti yang sangat penting, tidak hanya karena dilakukan dalam menghadapi tantangan agama, tetapi juga diungkapkan kepada kita, bahwa al-Kindi tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dengannya, akan tetapi sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk memberikan tempat bagi konsep-konsep keagamaan, diatas apa yang ia anggap merupakan landasan-landasan yang lebih kokoh dan benar, penggunaan bukti-bukti yang demonstratif.
Argumen utama yang digunakannya untuk mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan suatu asumsi bahwa filsafat dan agama mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu pengetahuan tentang ke-esaan Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan, bahwa filsafat mencakup ”teologi, ilmu pengetahuan ke-esaan Tuhan, ilmu etika, dan ilmu yang berguna bagi manusia untuk menjalankan kebaikan dan mencegah keburukan” diantara cabang-cabangnya.
Lebih lanjut al-Kindi menyatakan bahwa agama melakukan hal yang sama. Substansi semua amanat kenabian yang sebenarnya hanyalah untuk mengukuhkan ke-Ilahian Tuhan yang unik, dan memerintahkan kepada kita untuk memilih dan mengejar kebajikan-kebajikan yang paling diridlai di mata Tuhan.
Dengan kata lain, al-Kindi melihat bahwa pada tingkat teoritis agama dan filsafat menggarap suatu masalah yang sama, ke-esaan Tuhan. Juga pada tingkat praktis, keduanya mempunyai tujuan-tujuan yang tidak berbeda, yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu pada kedua tingkat tersebut pemikiran al-Kindi telah memperjelas kenyataan, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara agama dan filsafat, oleh karena keduanya mengarah kepada hal yang sama. Disamping itu, dimasukkannya teologi di dalam filsafat oleh al-kindi, menghadapkan kita kepada suatu masalah. Jika tujuan utama filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
Pada tingkat lainnya, masalah yang timbul dari hubungan yang ditempatkan oleh al-Kindi, antara filsafat dengan agama adalah bersifat epistemologis.
Sekarang, jika filsafat dan agama mengarah kepada hal yang sama, maka apakah itu berarti bahwa filsafat setarap dengan agama. Kalau sampai pada penentuan soal pengetahuan yang lebih mendasar pengetahuan mana yang lebih pasti, yang rasional atau yang kenabian?
Al-Kindi tidak menentukan pendirian yang konsisten mengenai masalah ini. Di satu tulisannya, ia mempertahankan kepastian yang sama bagi pengetahuan rasional dan pengetahuan kenabian. Sedangkan di dalam tulisan-tulisannya mengenai psikologi, ia memasukkan pengetahuan kenabian di dalam pengetahuan rasional. Pada tulisannya yang lain lagi ia menyatakan bahwa pengetahuan rasional manusia lebih rendah daripada pengetahuan kenabian.
5. Konsep Filsafat Al-Kindi mengenai Etika kaitannya dengan Pendidikan
Seperti yang telah kita ketahui, al-Kindi menganggap bahwa tujuan terakhir filsafat terletak pada hubungan hubungannya dengan moralitis . sedangkan tujuan dari filosof adalah untuk mengetahui kebenaran dan kemudian berbuat sesuai dengan kebenaran tersebut. Dengan demikian kearifanj, perbuatan dan renungan sebagai aspirasi tertyinggi manusia terpadu dalam dirinya, tampa menyamakan pengetahuan dan kebijaksanaan seperti yang dilakukan oleh sokrates.
Oleh karena itu menurut al-Kindi sendiri maksud ilmu pengetahuan etika ialah untuk memperoleh kebijakan dan menghindari keburukan. Pengethauan tidak hanya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, tetapi turut membantu kemurnian jiwa yang merupakan satu-satunya sara untuk menyatukan kedua hal tersebut. Dan konsepsi kefilsafat al-Kindi juga tidak terlepas dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Melihat pemamparan pemikiran alkindi diatas ketika kita sambungkan dengan pendidikan bisa disimpulkan yang pertama dan utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika dulu dengan cara perbaikan jiwa atau nafs. Karena menurut al-Kindi sendiri tujuan terakhir filsafat terletak pada
6. Karya-karya Al-Kindi
Sebagian besar karya al-Kindi (berjumlah sekitar 270 buah) hilang,Ibn al-Nadim dan yang mengikutinya, al-Qifti, mengelompokan tulisan-tulisan al-Kindi yang kebanyakan beruupa risalah-risalah pendek, menjadi 17 kelompok : (1) Filsafat, (2) Logika, (3) Ilmu Hitung, (4) Globular, (5) Musik, (6) Astronomi, (7) Geometri, (8) Sperikal, (9) Medis, (10) Astrologi, (11) Dealektika, (12) Psikologi, (13) Politik, (14) Meteorologi, (15) Dimensi, (16) Benda-benda Pertama, (17) Spesies tertentu logam dan kimia, dan lain-lain.
Gambaran ini menunjukan betapa luasnya pengetahuan al-Kindi . beberapa karya ilmiah yang teglah diterjemahkan oleh Gerared dari Cremona ke dalam bahasa Latin. Dan karya-karya ini sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Kardona menganggap al-Kindi sebagai salah-satu dari dua belas pemikir terbesar.

B. AL-GOZALI
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M. Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada.
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu. Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
2. Pemikiran tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil. Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1. Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
2. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
1. Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2. Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

3. Karya-Karya al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih bisa kita simak.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pandangan al-Kindi tentang pendidikan ketika dikaitkan dengan ilmu etika yang pertama dan utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika dulu dengan cara perbaikan jiwa atau nafs.
Sedangkan menurut al-Gozali pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
 Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
 Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
 Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
 Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
 Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.



DAFTAR PUSTAKA

 Fakry, Masjid, Sejarah Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 2002.
 M.M Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung :Mizan, 1998.
 Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Rosda Karya, Bandung, 2002.
 Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, CV. Toha Putra Semarang, 1982.
 Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, .
 Atiyeh, George N, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Penerbit Pustaka Bandung, 1983. hlm. 21-22 Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung :Mizan, 1998. .
 C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
 Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998.
 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
 Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.