PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, yang berenang tetaplah berwenang dan yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa.
Berpijak dari realitas yang ada, pembahasan ini akan mencoba terlebih dahulu menganalisis konsep-konsep yang dikembangkan oleh Dua tokoh Pendidikan Islam kemudian merekonstruksi dan menemukan mazhab-mazhab yang dianut oleh sang tokoh dan implementasinya dalam pemikiran pendidikan islam. Dua tokoh pendidikan islam yang bisa dianalisis pemikirannya adalah Al-Kindi dan Al-Ghazali.
Sesungguhnya tidak mudah untuk menggeneralisir pemikiran pendidikan islam ke dalam sebuah atau beberapa mazhab karena memang umumnya pemikir (yang dimasukkan sebagai tokoh) pendidikan islam yang nota bene filosof itu tidak secara khusus membahas mengenai pendidikan islam, tetapi lebih sebagai pemikiran filosofis mengenai komponen-komponen yang kita kenal sekarang sebagai komponen pendidikan, misalnya tujuan si terdidik ( pandangan mengenai manusia), pendidik, materi, metode, dan alat pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-KINDI
1. Riwayat Hidup Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal sebagai filosof muslim pertama keturunan arab, nama lengkapnya adalah abu yusuf ya`qup ibn ishaq ibn shabbah ibn imran ibn ismail ibn muhammad ibn al-asy`ats ibn qais al-kindi. Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang dikalangan masyarakat arab dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz, al-asy`ats termasuk salah seorang sahabat nabi, yang meriwayatkan hadist bersama saad bin abi waqqas. Ikut perang siffin dibawah pimpinan ali ibn abi tholib ia memegang panji kabilah kindah.
Ia lahir di kuffah sekitar 185 H (801 M ) atau penghujung abad ke 8 M dan awal abad ke 9 M. ayahnya adalah ishaq ibn al-shabbah bekerja sebagai gubernur daulah abbasiah,pada masa pemerintahan al-mahdi ( 775 – 785 M ) dean Harun Ar-Rasiyd (786 -809 M ). Walaupun orang tuanya meninggal pada usia mudanya namun kehidupannya tergolong lumayan, namun ia tidak sombong dan manja ia lebih senang belajar seperti halnya al-quran,al-hadis,berhitung dan yang lainnya baik di Basrah maupun di Baghdad.
Kuffah dan basrah, pada abad ke 2 dan ke 3 H ( 8 dan 9 M ) merupakan dua pusat kebudayaan islam yang maju. Kuffah lebih cenderung kepada studi – studi aqliah; dan dalam lingkungan iktelektual inilah al-kindi melewatkan masa kecilnya. Dia menghafal al-quran, bahasa arab, kesusastraan, dan ilmu hitung, fiqh dan qalam.tetapi ia lebih tertarik kepada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang pada keduanya ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya. Ia seorang yang sangat cerdas,telah banyak menterjemahkan buuku filsafat, menjelaskan berbagai masalah,menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Hal ini karena ia banyak menguasai ilmu yang berkembang pada waktu di Kuffah dan Baghdad. Seperti kedokteran, filsafat, semantik, giometri, al-jabar, ilmu falq, astronomi, bahkan ia berkemampuan mengubah lagu. Jadi, tidak heran kalau al-kindi seorang ahli dari berbagai ilmu pengetahuan. Karena ia hidup pada puncak kejayaan islam pada daulah abbbasiah ( al-amin, 809 – 813 M ; al-Ma`mum, 813 – 833 M ).kemashuran al-kindi luar biasa sehingga khalifah al-Mu`tashim mengangkatnya sebagai guru pribadi putranya ahmad, yang kepadanya ia persembahkan karya – karya pentingnya. Sehingga telah menghiasi kerajaan al-Mu`tashim.
Tak lama dikuffah al-Kindi berpindah ke Bagdad, yang kala itu menjadi ibu kota kekholifaan Bani Abas dan pusat keilmuan. Disitulah al-Kindi mendapat sokongan dari tiga kholifah Bani Abbas, yakni al-Makmun,al-Mu’tasin, dan Al-Watsiq. Ketiga Kholifah itu mendukung total kelangsungan belajar mengajar serta kegiatan ilmiah, silosofis, dan kesustraan pada masa itu. Mereka ini pada umumnya lebih condong kepada rasionalisme teologis Mu’tazilah. Namun ketika Al-Mutawwakil menjabat Kholifah pada tahun 874, Al-Kindi bernasib buruk seperti para filosof dan teologi lainnya. Setelah limah tahun melewati masa sulit pada pemerintahan Al-Mutawwakil Al-Kindi wafat sekitar tahun 866.
2. Konsep Pemikiran Al-Kindi
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
3. Filsafat Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
4. Hubungan Antara Filsafat Dan Agama
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa salah satu fungsi utama filasafat adalah mencari kebenaran dengan berdasarkan nalar atau akal manusia, sedangkan agama adalah sebuah kebenaran yang berdasarkan wahyu Tuhan. Pertemuan antara keduanya sangatlah rumit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, al-Kindi melakukan pendekatan terhadap dua subjek tersebut—yakni nalar dan wahyu—dengan dua tingkatan. Pertama, didasarkan atas kesamaan tujuan antara filsafat dan agama dan yang kedua, secara epistemologis.
Dalam tingkatan pertama, sebelum ia membentangkan pandangannya, lepas dari adanya kesamaan tujuan-tujuan antara agama dan filsafat, al-Kindi mempertahankan perlunya filsafat dan dapat disesuaikannya dengan agama. Uraian George N. Atiyeh, di dalam bukunya ”Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim,” menampakkan kepiawaian al-Kindi dalam menghadapi serangan orang-orang yang fanatik dengan agama dan penentang kegiatan filosofis macam apapun juga, ia menyatakan:“Filsafat adalah suatu kebutuhan, bukan suatu kemewahan. Ia mengatakan kepada orang-orang yang fanatik tersebut, bahwa mereka harus menyatakan, berfilsafat itu perlu atau tidak perlu. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen untuk membuktikannya. Padahal dengan memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen tersebut, mereka pada dasarnya telah berfilsafat. Oleh karena itu filsafat adalah perlu dalam kedua hal itu.”
Pembelaan yang dikemukakan al-Kindi tersebut mempunyai arti yang sangat penting, tidak hanya karena dilakukan dalam menghadapi tantangan agama, tetapi juga diungkapkan kepada kita, bahwa al-Kindi tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dengannya, akan tetapi sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk memberikan tempat bagi konsep-konsep keagamaan, diatas apa yang ia anggap merupakan landasan-landasan yang lebih kokoh dan benar, penggunaan bukti-bukti yang demonstratif.
Argumen utama yang digunakannya untuk mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan suatu asumsi bahwa filsafat dan agama mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu pengetahuan tentang ke-esaan Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan, bahwa filsafat mencakup ”teologi, ilmu pengetahuan ke-esaan Tuhan, ilmu etika, dan ilmu yang berguna bagi manusia untuk menjalankan kebaikan dan mencegah keburukan” diantara cabang-cabangnya.
Lebih lanjut al-Kindi menyatakan bahwa agama melakukan hal yang sama. Substansi semua amanat kenabian yang sebenarnya hanyalah untuk mengukuhkan ke-Ilahian Tuhan yang unik, dan memerintahkan kepada kita untuk memilih dan mengejar kebajikan-kebajikan yang paling diridlai di mata Tuhan.
Dengan kata lain, al-Kindi melihat bahwa pada tingkat teoritis agama dan filsafat menggarap suatu masalah yang sama, ke-esaan Tuhan. Juga pada tingkat praktis, keduanya mempunyai tujuan-tujuan yang tidak berbeda, yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu pada kedua tingkat tersebut pemikiran al-Kindi telah memperjelas kenyataan, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara agama dan filsafat, oleh karena keduanya mengarah kepada hal yang sama. Disamping itu, dimasukkannya teologi di dalam filsafat oleh al-kindi, menghadapkan kita kepada suatu masalah. Jika tujuan utama filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
Pada tingkat lainnya, masalah yang timbul dari hubungan yang ditempatkan oleh al-Kindi, antara filsafat dengan agama adalah bersifat epistemologis.
Sekarang, jika filsafat dan agama mengarah kepada hal yang sama, maka apakah itu berarti bahwa filsafat setarap dengan agama. Kalau sampai pada penentuan soal pengetahuan yang lebih mendasar pengetahuan mana yang lebih pasti, yang rasional atau yang kenabian?
Al-Kindi tidak menentukan pendirian yang konsisten mengenai masalah ini. Di satu tulisannya, ia mempertahankan kepastian yang sama bagi pengetahuan rasional dan pengetahuan kenabian. Sedangkan di dalam tulisan-tulisannya mengenai psikologi, ia memasukkan pengetahuan kenabian di dalam pengetahuan rasional. Pada tulisannya yang lain lagi ia menyatakan bahwa pengetahuan rasional manusia lebih rendah daripada pengetahuan kenabian.
5. Konsep Filsafat Al-Kindi mengenai Etika kaitannya dengan Pendidikan
Seperti yang telah kita ketahui, al-Kindi menganggap bahwa tujuan terakhir filsafat terletak pada hubungan hubungannya dengan moralitis . sedangkan tujuan dari filosof adalah untuk mengetahui kebenaran dan kemudian berbuat sesuai dengan kebenaran tersebut. Dengan demikian kearifanj, perbuatan dan renungan sebagai aspirasi tertyinggi manusia terpadu dalam dirinya, tampa menyamakan pengetahuan dan kebijaksanaan seperti yang dilakukan oleh sokrates.
Oleh karena itu menurut al-Kindi sendiri maksud ilmu pengetahuan etika ialah untuk memperoleh kebijakan dan menghindari keburukan. Pengethauan tidak hanya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, tetapi turut membantu kemurnian jiwa yang merupakan satu-satunya sara untuk menyatukan kedua hal tersebut. Dan konsepsi kefilsafat al-Kindi juga tidak terlepas dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Melihat pemamparan pemikiran alkindi diatas ketika kita sambungkan dengan pendidikan bisa disimpulkan yang pertama dan utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika dulu dengan cara perbaikan jiwa atau nafs. Karena menurut al-Kindi sendiri tujuan terakhir filsafat terletak pada
6. Karya-karya Al-Kindi
Sebagian besar karya al-Kindi (berjumlah sekitar 270 buah) hilang,Ibn al-Nadim dan yang mengikutinya, al-Qifti, mengelompokan tulisan-tulisan al-Kindi yang kebanyakan beruupa risalah-risalah pendek, menjadi 17 kelompok : (1) Filsafat, (2) Logika, (3) Ilmu Hitung, (4) Globular, (5) Musik, (6) Astronomi, (7) Geometri, (8) Sperikal, (9) Medis, (10) Astrologi, (11) Dealektika, (12) Psikologi, (13) Politik, (14) Meteorologi, (15) Dimensi, (16) Benda-benda Pertama, (17) Spesies tertentu logam dan kimia, dan lain-lain.
Gambaran ini menunjukan betapa luasnya pengetahuan al-Kindi . beberapa karya ilmiah yang teglah diterjemahkan oleh Gerared dari Cremona ke dalam bahasa Latin. Dan karya-karya ini sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Kardona menganggap al-Kindi sebagai salah-satu dari dua belas pemikir terbesar.
B. AL-GOZALI
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M. Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada.
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu. Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
2. Pemikiran tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil. Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1. Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
2. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
1. Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2. Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Karya-Karya al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih bisa kita simak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pandangan al-Kindi tentang pendidikan ketika dikaitkan dengan ilmu etika yang pertama dan utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika dulu dengan cara perbaikan jiwa atau nafs.
Sedangkan menurut al-Gozali pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA
Fakry, Masjid, Sejarah Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 2002.
M.M Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung :Mizan, 1998.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Rosda Karya, Bandung, 2002.
Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, CV. Toha Putra Semarang, 1982.
Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, .
Atiyeh, George N, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Penerbit Pustaka Bandung, 1983. hlm. 21-22 Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung :Mizan, 1998. .
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar