Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Jumat, 25 Maret 2011

Konsep Pendidikan Ala Al-Kindi

AL-KINDI
1. Riwayat Hidup Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal sebagai filosof muslim pertama keturunan arab, nama lengkapnya adalah abu yusuf ya`qup ibn ishaq ibn shabbah ibn imran ibn ismail ibn muhammad ibn al-asy`ats ibn qais al-kindi. Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang dikalangan masyarakat arab dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz, al-asy`ats termasuk salah seorang sahabat nabi, yang meriwayatkan hadist bersama saad bin abi waqqas. Ikut perang siffin dibawah pimpinan ali ibn abi tholib ia memegang panji kabilah kindah.
Ia lahir di kuffah sekitar 185 H (801 M ) atau penghujung abad ke 8 M dan awal abad ke 9 M. ayahnya adalah ishaq ibn al-shabbah bekerja sebagai gubernur daulah abbasiah,pada masa pemerintahan al-mahdi ( 775 – 785 M ) dean Harun Ar-Rasiyd (786 -809 M ). Walaupun orang tuanya meninggal pada usia mudanya namun kehidupannya tergolong lumayan, namun ia tidak sombong dan manja ia lebih senang belajar seperti halnya al-quran,al-hadis,berhitung dan yang lainnya baik di Basrah maupun di Baghdad.
Kuffah dan basrah, pada abad ke 2 dan ke 3 H ( 8 dan 9 M ) merupakan dua pusat kebudayaan islam yang maju. Kuffah lebih cenderung kepada studi – studi aqliah; dan dalam lingkungan iktelektual inilah al-kindi melewatkan masa kecilnya. Dia menghafal al-quran, bahasa arab, kesusastraan, dan ilmu hitung, fiqh dan qalam.tetapi ia lebih tertarik kepada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang pada keduanya ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya. Ia seorang yang sangat cerdas,telah banyak menterjemahkan buuku filsafat, menjelaskan berbagai masalah,menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Hal ini karena ia banyak menguasai ilmu yang berkembang pada waktu di Kuffah dan Baghdad. Seperti kedokteran, filsafat, semantik, giometri, al-jabar, ilmu falq, astronomi, bahkan ia berkemampuan mengubah lagu. Jadi, tidak heran kalau al-kindi seorang ahli dari berbagai ilmu pengetahuan. Karena ia hidup pada puncak kejayaan islam pada daulah abbbasiah ( al-amin, 809 – 813 M ; al-Ma`mum, 813 – 833 M ).kemashuran al-kindi luar biasa sehingga khalifah al-Mu`tashim mengangkatnya sebagai guru pribadi putranya ahmad, yang kepadanya ia persembahkan karya – karya pentingnya. Sehingga telah menghiasi kerajaan al-Mu`tashim.
Tak lama dikuffah al-Kindi berpindah ke Bagdad, yang kala itu menjadi ibu kota kekholifaan Bani Abas dan pusat keilmuan. Disitulah al-Kindi mendapat sokongan dari tiga kholifah Bani Abbas, yakni al-Makmun,al-Mu’tasin, dan Al-Watsiq. Ketiga Kholifah itu mendukung total kelangsungan belajar mengajar serta kegiatan ilmiah, silosofis, dan kesustraan pada masa itu. Mereka ini pada umumnya lebih condong kepada rasionalisme teologis Mu’tazilah. Namun ketika Al-Mutawwakil menjabat Kholifah pada tahun 874, Al-Kindi bernasib buruk seperti para filosof dan teologi lainnya. Setelah limah tahun melewati masa sulit pada pemerintahan Al-Mutawwakil Al-Kindi wafat sekitar tahun 866.
2. Konsep Pemikiran Al-Kindi
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
3. Filsafat Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
4. Hubungan Antara Filsafat Dan Agama
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa salah satu fungsi utama filasafat adalah mencari kebenaran dengan berdasarkan nalar atau akal manusia, sedangkan agama adalah sebuah kebenaran yang berdasarkan wahyu Tuhan. Pertemuan antara keduanya sangatlah rumit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, al-Kindi melakukan pendekatan terhadap dua subjek tersebut—yakni nalar dan wahyu—dengan dua tingkatan. Pertama, didasarkan atas kesamaan tujuan antara filsafat dan agama dan yang kedua, secara epistemologis.
Dalam tingkatan pertama, sebelum ia membentangkan pandangannya, lepas dari adanya kesamaan tujuan-tujuan antara agama dan filsafat, al-Kindi mempertahankan perlunya filsafat dan dapat disesuaikannya dengan agama. Uraian George N. Atiyeh, di dalam bukunya ”Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim,” menampakkan kepiawaian al-Kindi dalam menghadapi serangan orang-orang yang fanatik dengan agama dan penentang kegiatan filosofis macam apapun juga, ia menyatakan:“Filsafat adalah suatu kebutuhan, bukan suatu kemewahan. Ia mengatakan kepada orang-orang yang fanatik tersebut, bahwa mereka harus menyatakan, berfilsafat itu perlu atau tidak perlu. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen untuk membuktikannya. Padahal dengan memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen tersebut, mereka pada dasarnya telah berfilsafat. Oleh karena itu filsafat adalah perlu dalam kedua hal itu.”
Pembelaan yang dikemukakan al-Kindi tersebut mempunyai arti yang sangat penting, tidak hanya karena dilakukan dalam menghadapi tantangan agama, tetapi juga diungkapkan kepada kita, bahwa al-Kindi tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dengannya, akan tetapi sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk memberikan tempat bagi konsep-konsep keagamaan, diatas apa yang ia anggap merupakan landasan-landasan yang lebih kokoh dan benar, penggunaan bukti-bukti yang demonstratif.
Argumen utama yang digunakannya untuk mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan suatu asumsi bahwa filsafat dan agama mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu pengetahuan tentang ke-esaan Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan, bahwa filsafat mencakup ”teologi, ilmu pengetahuan ke-esaan Tuhan, ilmu etika, dan ilmu yang berguna bagi manusia untuk menjalankan kebaikan dan mencegah keburukan” diantara cabang-cabangnya.
Lebih lanjut al-Kindi menyatakan bahwa agama melakukan hal yang sama. Substansi semua amanat kenabian yang sebenarnya hanyalah untuk mengukuhkan ke-Ilahian Tuhan yang unik, dan memerintahkan kepada kita untuk memilih dan mengejar kebajikan-kebajikan yang paling diridlai di mata Tuhan.
Dengan kata lain, al-Kindi melihat bahwa pada tingkat teoritis agama dan filsafat menggarap suatu masalah yang sama, ke-esaan Tuhan. Juga pada tingkat praktis, keduanya mempunyai tujuan-tujuan yang tidak berbeda, yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu pada kedua tingkat tersebut pemikiran al-Kindi telah memperjelas kenyataan, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara agama dan filsafat, oleh karena keduanya mengarah kepada hal yang sama. Disamping itu, dimasukkannya teologi di dalam filsafat oleh al-kindi, menghadapkan kita kepada suatu masalah. Jika tujuan utama filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
Pada tingkat lainnya, masalah yang timbul dari hubungan yang ditempatkan oleh al-Kindi, antara filsafat dengan agama adalah bersifat epistemologis.
Sekarang, jika filsafat dan agama mengarah kepada hal yang sama, maka apakah itu berarti bahwa filsafat setarap dengan agama. Kalau sampai pada penentuan soal pengetahuan yang lebih mendasar pengetahuan mana yang lebih pasti, yang rasional atau yang kenabian?
Al-Kindi tidak menentukan pendirian yang konsisten mengenai masalah ini. Di satu tulisannya, ia mempertahankan kepastian yang sama bagi pengetahuan rasional dan pengetahuan kenabian. Sedangkan di dalam tulisan-tulisannya mengenai psikologi, ia memasukkan pengetahuan kenabian di dalam pengetahuan rasional. Pada tulisannya yang lain lagi ia menyatakan bahwa pengetahuan rasional manusia lebih rendah daripada pengetahuan kenabian.
5. Konsep Filsafat Al-Kindi mengenai Etika kaitannya dengan Pendidikan
Seperti yang telah kita ketahui, al-Kindi menganggap bahwa tujuan terakhir filsafat terletak pada hubungan hubungannya dengan moralitis . sedangkan tujuan dari filosof adalah untuk mengetahui kebenaran dan kemudian berbuat sesuai dengan kebenaran tersebut. Dengan demikian kearifanj, perbuatan dan renungan sebagai aspirasi tertyinggi manusia terpadu dalam dirinya, tampa menyamakan pengetahuan dan kebijaksanaan seperti yang dilakukan oleh sokrates.
Oleh karena itu menurut al-Kindi sendiri maksud ilmu pengetahuan etika ialah untuk memperoleh kebijakan dan menghindari keburukan. Pengethauan tidak hanya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, tetapi turut membantu kemurnian jiwa yang merupakan satu-satunya sara untuk menyatukan kedua hal tersebut. Dan konsepsi kefilsafat al-Kindi juga tidak terlepas dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Melihat pemamparan pemikiran alkindi diatas ketika kita sambungkan dengan pendidikan bisa disimpulkan yang pertama dan utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika dulu dengan cara perbaikan jiwa atau nafs. Karena menurut al-Kindi sendiri tujuan terakhir filsafat terletak pada
6. Karya-karya Al-Kindi
Sebagian besar karya al-Kindi (berjumlah sekitar 270 buah) hilang,Ibn al-Nadim dan yang mengikutinya, al-Qifti, mengelompokan tulisan-tulisan al-Kindi yang kebanyakan beruupa risalah-risalah pendek, menjadi 17 kelompok : (1) Filsafat, (2) Logika, (3) Ilmu Hitung, (4) Globular, (5) Musik, (6) Astronomi, (7) Geometri, (8) Sperikal, (9) Medis, (10) Astrologi, (11) Dealektika, (12) Psikologi, (13) Politik, (14) Meteorologi, (15) Dimensi, (16) Benda-benda Pertama, (17) Spesies tertentu logam dan kimia, dan lain-lain.
Gambaran ini menunjukan betapa luasnya pengetahuan al-Kindi . beberapa karya ilmiah yang teglah diterjemahkan oleh Gerared dari Cremona ke dalam bahasa Latin. Dan karya-karya ini sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Kardona menganggap al-Kindi sebagai salah-satu dari dua belas pemikir terbesar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar